Perkenalan Pertama dengan Siti Khadijah r.a.
Nabi Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam.:
“Allah tidak memberi kepadaku pengganti istri yang lebih baik dari dia (Khadijah r.a.). Ia beriman kepadaku di kala semua orang mengingkari kenabianku. Ia membenarkan kenabianku di kala semua orang mendustakan diriku. Ia menyantuni diriku dengan hartanya di kala semua orang tidak mau menolongku. Melalui dia Allah menganugerahi anak kepadaku, tidak dari istri yang lain.”
(Diketengahkan oleh Ibnu ‘Abdul-Birr di &a’am Al-Isti’ab)
Sebagaimana termaktub di dalam buku-buku sejarah kehidupan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam., beliau ditinggal wafat ayahandanya sewaktu masih berada di dalam kandungan bundanya. Kemalangan demi kemalangan menimpa nasib beliau sebagai anak yatim. Dalam usia kurang-lebih tiga tahun beliau diajak bundanya pergi ke Madinah untuk berziarah ke makam ayahandanya. Dalam perjalanan pulang ke Makkah bundanya wafat di sebuah pedusunan bernama Abwa. Beliau dibawa pulang ke Makkah oleh pembantu ibundanya, Ummu Aiman, kemudian diserahkan kepada datuknya yang sudah lanjut usia, Abdul-Muththalib. Hanya beberapa tahun saja beliau hidup di bawah asuhan datuknya yang kemudian wafat ketika beliau mencapai usia kurang-lebih enam tahun. Berdasarkan wasiat datuknya, beliau diasuh oleh pamandanya, Abu Thalib. Hingga usia dewasa dan nikah dengan Khadijah binti Khuwailid r.a. Beliau hidup di bawah naungan paman yang memperlakukannya sebagai anak kandung sendiri.
Meskipun Abu Thalib bagi masyarakat Quraisy merupakan seorang pemimpin yang dihormati dan disegani, tetapi ia tidak termasuk dalam jajaran tokoh-tokoh Quraisy yang kaya dan hidup berkecukupan. Hasil perniagaannya secara kecil-kecilan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Di tengah suasana hidup serba kekurangan itulah Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dibesarkan.
Setelah kurang-lebih selama 17 tahun hidup di bawah naungan pamandanya, beliau berpikir hendak membantu meringankan penghidupan Abu Thalib yang berkeluarga besar itu. Setidak-tidaknya hidup mandiri tanpa menjadi beban yang terus-menerus memberatkan pamandanya. Akan tetapi bagaimanakah caranya agar beliau dapat mencapai keinginannya itu? Beliau sering duduk seorang diri merenungkan kemalangan hidup yang menimpa dirinya sejak masih dalam buaian. Pada suatu hari ketika beliau sedang teringat kepada bundanya, tiba-tiba Abu Thalib menghampirinya lalu berkata, “Anakku, aku ini seorang yang tidak berharta. Bertahun-tahun lamanya kita hidup menderita. Kita tidak mempunyai barang dagangan apa pun yang dapat dijual dan tidak mempunyai uang untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Sekarang, lihatlah kafilah Quraisy sedang berkemas-kemas siap berangkat ke negeri Syam membawa barang-barang dagang Khadijah binti Khuwailid. Seumpama engkau mau datang kepadanya untuk keperluan itu tentu ia akan lebih mengutamakan dirimu daripada orang lain, karena sudah banyak mendengar kabar tentang kejujuran dan kesucian hatimu. Sebenarnya aku tidak suka engkau bepergian ke negeri Syam, karena saya mengkhawatirkan keselamatanmu di tengah-tengah orang Yahudi. Saya mendengar bahwa Khadijah sudah menunjuk seorang tenaga tambahan, saya tidak rela kalau ia memberi bagian keuntungan kepadamu seperti yang diberikannya kepada orang itu! Setujuhkah engkau kalau persoalan itu kusampaikan kepadanya?”1
Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menjawab, “Terserah paman bagaimana baiknya.” Pergilah Abu Thalib menemui Khadijah r.a., ternyata apa yang dikatakan olehnya dapat disetujui, bahkan diterima oleh Khadijah r.a. dengan segala senang hati. Kemudian berangkatlah Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bersama kafilah ke negeri Syam. Dalam waktu tidak seberapa lama semua barang dagangan yang dibawa oleh kafila habis terjual. Setiap anggota kafilah menghitung-hitung laba dan seberapa banyak yang akan diterima dari Khadijah r.a. sebagai pembagian keuntungan. Tibalah saat untuk pulang ke Makkah. Semua anggota kafilah pulang ke Makkah lewat “Marrudz-dzahran” yang dianggap terdekat, karena mereka sudah rindu bertemu dengan keluarga masing-masing. Hanya Muhammad saw. sendiri yang lewat jalan lain, yaitu jalan tidak jauh dari peristirahatan bundanya yang terakhir, Abwa. Tentu saja rombongan kafilah akan tibah di Makkah lebid dulu daripada Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang menempuh perjalanan lewat Abwa. Namun itu bukan soal bagi beliau yang jauh lebih merindukan bundanya daripada ingin cepat-cepat menerima pembagian keuntungan dua kali lipat dari Khadijah. Memang benar, sebelum berangkat Khadijah telah berjanji akan memberi keuntungan kepada beliau lebih banyak daripada yang diterima orang lain, yaitu dua kali lipat.2
Maisarah, orang yang oleh Khadijah r.a. disuruh menemani dan membantu nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dalam perjalanan pulang-pergi ke Syam, tidak sabar lama-lama singgah di Abwa, karena itu ia mendesak, “Biarlah saya saja yang segera pulang dan memberi tahu Siti Khadijah tentang keberuntungan Anda dalam perjalanan. Ia pasti memahami hal itu.”
Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak menjawab, membiarkan Maisarah berjalan cepat. Setelah beberapa saat menatapkan pandangan matanya ke arah pusara bundanya, beliau mulai bergerak dengan untanya untuk menyusul Maisarah. Beberapa kali beliau menoleh ke belakang seolah-olah hendak melihat lambaian tangan bundanya. Sambil duduk di atas punggung untanya beliau teringat akan peristiwa sedih dalam perjalanan beliau yang pertama ke Yatsrib (Madinah) bersama bundanya berziarah ke makam ayahandanya, kemudian di dalam perjalanan pulang ke Makkah bundanya wafat di Abwa. Bayangan bundanya melekat di peluk mata beliau, sehingga air mata berderai tak dapat ditahan. Peristiwa yang terjadi hampir dua puluh tahun silam kini mucul dalam ingatan segar, yaitu ketika masih kanak-kanak beliau pulang dari Abwa tanpa ibu….”