Sayidatina Khadijah r.a. Wafat
Embargo ekonomi dan sosial yang dilancarkan kaum musyrikin Quraisy terhadap orang-orang Bani Hasyim dan Bani Abdul-Muththalib, khususnya terhadap Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam., akhirnya gagal, tidak mencapai tujuannya. Sejarah mencatat bahwa iman yang teguh dan perjuangan gagah berani sanggup mengalahkan maksud jahat yang hendak mengubur kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bersama istri beliau, Khadijah r.a., kembali pulang ke rumah dekat Ka’bah. Semangat dan tekad Khadijah r.a. tetap segar memperkuat dakwah risalah, tetapi kondisi fisiknya tidak memungkinkannya menang-gung penderitaan berat, akibat kesengsaraan hidupnya selama tiga tahun di dalam syi’ib. Badannya sangat lemah dan kesehatannya terus merosot, karena dalam hal makan-minum sehari-hari ia lebih mengutamakan suaminya, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, daripada dirinya sendiri. Ketika itu usianya telah mencapai 65 tahun.
Enam bulan sejak embargo berantakan tanpa hasil, Abu Thalib paman Nabi yang mengasuh, melindungi dan membela beliau sejak kanak-kanak hingga dewasa, meninggal dunia karena sakit. Khadijah r.a. tidak sempat menyaksikan wafatnya Abu Thalib, karena ia tidak dapat me-ninggalkan tempat tidur, menderita sakit yang mungkin disebabkan oleh beratnya tekanan dan penderitaan selama kurang-lebih tiga tahun. Hingga saat ia pulang ke haribaan Allah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sendiri sebagai suami selalu menjaga, menghibur, dan membesarkan hatinya pada saat-saat menjelang ajalnya. Betapa berat musibah yang menimpa beliau, hidup berpisah dengan Khadijah r.a. di dunia yang fana ini. Tidak ada lagi seorang istri yang mencintai beliau sejak pertemuan pertama, mem¬percayai sepenuh hati kebenaran beliau sebagai Nabi dan Rasul sejak malam lailatul-qadr dan yang berjuang bersama beliau hingga saat-saat terakhir hidupnya. Bagi beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Khadijah r.a. adalah seorang teman hidup yang menenteramkan, penghibur di waktu resah dan penenang di saat gelisah … sejak hari pernikahannya hingga detik keberangkatannya menghadap Allah SWT dengan tenang dan ridha serta diridai oleh-Nya….
Khadijah r.a. wafat pada tahun ke-3 sebelum hijrah. Demikianlah menurut sumber riwayat yang dapat dipercaya. Rumah yang pada mulanya semarak kini telah berubah sunyi senyap. Dua orang putra Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam telah wafat sebelum bundanya dan putri tertua, Zainab, telah lama pindah mengikuti suaminya, Abul-Ash bin Ar-Rabi’. Putri kedua dan ketiga—Ruqayyah dan Ummu Kaltsum—telah menjanda karena dicerai oleh suaminya masing-masing dua orang bersaudara sa¬ma-sama anak lelaki Abu Lahab, yaitu ‘Utbah dan ‘Utaibah. Sedangkan Fathimah Az-Zahra masih dalam usia kanak-kanak. Tiga orang putri itulah yang menyediakan keperluan beliau sehari-hari. Sukar digam¬barkan betapa sedih suasana kehidupan keluarga suci itu setelah ditinggal wafat seorang ibu rumah tangga yang paling mereka cintai dan men¬cintai mereka.
Dalam tahun itulah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam kehilangan dua orang sokoguru yang menopang dan menunjang dakwah kebenaran Allah, Abu Thalib bin Abdul-Muththalib dan Khadijah binti Khuwailid r.a. Tidak ada lagi kekuatan fisik dan material yang dapat diandalkan untuk menghadapi keberingasan kaum musyrikin Quraisy yang semakin menjadi-jadi. Kekuatan satu-satunya yang menjadi sandaran beliau hanyalah pertolongan Allah dan perlindungan-Nya. Malaikat Aminul-wahyi, Jibril a.s., dari saat ke saat menyampaikan wahyu Ilahi kepada beliau dan menjaga serta mengamati keamanan dan keselamatan beliau atas perintah Rabbil ‘alamin. Satu hal yang menenteramkan beliau adalah kesetiaan para sahabatnya, yang walaupun jumlahnya masih sedikit, tetapi rela berkorban untuk menyelamatkan dakwah beliau. Mereka tangguh menghadapi penderitaan serta tabah menghadapi penindasan dan pengejaran kaum musyrikin Quraisy. Ketika Khadijah r.a. wafat, dakwah agama Islam telah melampaui batas-batas kota Makkah dan sudah mulai sampai ke daerah-daerah pinggiran negeri Hijaz, bahkan juga negeri-negeri Arab sekitarnya. Selain itu dakwah Islam juga telah sampai ke negeri Habasyah (Ethiopia), dengan hijrahnya kaum Muslimin ke negeri tersebut guna menghindari pengejaran dan tindakan-tindakan penganiayaan serta penyiksaan yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam.
Tidak lama sepeninggal Khadijah r.a., pada musim upacara peribadatan di sekitar Ka’bah—yang berlangsung setiap tahun sejak zaman dahulu—sejumlah orang dari Yatsrib (Madinah) datang ke Makkah untuk membai’at (menyatakan sumpah setia) kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Mereka pulang ke Madinah kemudian membangkitkan penduduk untuk bertekad membela Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Mereka siap terjun ke dalam perang suci untuk memperoleh salah satu di antara dua kebajikan tertinggi yang didambakan: Mengalahkan musuh-musuh Allah, atau, mati syahid dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini