“Pada waktu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam membagi tawanan perang wanita Bani Musthaliq (melalui undian), Juwairiyyah binti Al-Harits jatuh di tangan Tsabit bin Qais, atau saudara sepupunya. Wanita itu kemudian berusaha keras hendak menebus dirinya (untuk dimerdekakan). Ia seorang wanita yang berwajah manis dan elok. Setiap pria yang melihatnya pastik tertarik. Ia datang menghadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam minta pertolongan mengenai upaya penebusan dirinya. Demi Allah, begitu saya melihatnya berdiri di depan pintu kediamanku, seketika itu juga saya merasa tidak senang kepadanya. Karena saya mengerti, apa yang saya lihat pada wanita itu akan dilihat juga oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam “
Dari Ummul-Mu ‘minin ‘a’isyah r.a. (Diketengahkan oleh Ibnu Ishaq di dalam Sirah Nabawiyyah)
Tawanan Wanita Rupawan
Setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menikah dengan Zainab binti Jahsy, beliau sibuk menghadapi tugas-tugas kewajiban yang penting dan besar, yaitu selama masa pertengahan kedua tahun ke-5 Hijriyah. Dalam bulan Syawal hingga minggu-minggu pertama bulan Zulqi’dah, beliau bersama kaum Muslimin menghadapi perang Khandaq (terkenal pula dengan perang Ahzab). Rencana penyerbuan pasukan musyrikin Quraisy secara besar-besaran ke Madinah, atas hasutan dan dorongan orang-orang Yahudi. Dengan penyerbuan itu mereka hendak menghancurkan Islam dan kaum Muslimin di pusat kedudukannya, Madinah. Pasukan Muslimin yang berkekuatan 3000 orang di bawah pimpinan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam bekerja keras menggali parit-parit pertahanan di beberapa daerah pinggiran kota. Kaum musyrikin mengerahkan kekuatan sebesar 10.000 orang, tambah lagi dengan kekuatan dari Bani Kinanah, penduduk Tihamah, Bani Ghathafan, dan orang-orang dari Najd.
Orang-orang Yahudi Madinah turut menambah ancaman terhadap kaum Muslimin dengan sikap mereka yang membatalkan perjanjian perdamaian dengan kaum Muslimin. Pada masa itu kaum Muslimin benar-benar menghadapi cobaan berat. Banyak di antara mereka yang ketakutan menghadapi serbuan musuh yang akan membanjir ke Madinah dari dataran-dataran tinggi dan dari lembah-lembah. Kemunafikan bermunculan, ada di antara mereka yang berkata, “Muhammad menjanjikan kita makanan dan minuman dari gudang-gudang kerajaan Persia dan Romawi, tetapi kenyataannya sekarang untuk buang air besar saja kita tidak merasa aman!!”
Orang-orang munafik, yang terjun ke medan perang dengan pamrih mendapat harta rampasan, sudah patah harapan, belum berperang sudah merasa kalah dan akhirnya pulang ke tengah keluarganya masing-masing. Selama 27 hari siang-malam kota Madinah dikepung musuh dari berbagai jurusan. Akan tetapi setelah masa-masa sukar terlampaui, tibalah giliran yang menguntungkan kedudukan kaum Muslimin. Angin topan dan badai sahara tiba-tiba datang mengobrak-abrik pasukan musyrikin yang sedang mengepung kota Madinah. Perkemahan dan peralatan mereka beterbangan, semua ternak dan kuda-kuda perang mereka lari tunggang-langgang, hujan lebat dan udara dingin terasa menyayat-nyayat kulit kaum musyrikin. Pada akhirnya komandan tertinggi mereka, Abu Sufyan bin Harb, menyerukan semua anak buahnya pulang meninggalkan medan, bahkan ia sendiri pulang ke Makkah mendahului anggota-anggota pasukan yang dipimpinnya.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini