Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab r.a. pernah mengirimkan uang tunjangan bagi Zainab sebesar 12.000 dirham. Zainab menerimanya sambil berucap, “Ya Allah… uang ini kelak tidak akan dapat mengikutiku (yakni tidak akan dibawa mati!). Ini ujian (fitnah) bagiku, bukan lain!” Uang itu lalu dibagikan kepada kaum kerabatnya yang tidak mampu dan orang-orang lain yang membutuhkan pertolongan. Ketika Khalifah ‘Umar mendengar kabar mengenai perbuatan Zainab r.a. itu, ia sengaja datang ke rumahnya. Sambil berdiri di depan pintu (tidak mungkin bertatap muka karena ketentuan hukum hijab) ia berkata, “Aku mendengar ibu membagi-bagikan uang yang kukirimkan. Akan kukirimkan lagi 1000 dirham, hendaknya ibu simpan sisanya untuk ibu sendiri.” Ketika ‘Umar r.a. mengirimkan lagi uang yang 1000 dirham itu, oleh Zainab disedekahkan semua, tidak satu dirham pun yang disisakan.
Pada tahun 20 atau 20 Hijriyah, beberapa waktu sebelum wafat, Zainab r.a. berpesan, “Aku sudah menyediakan kain kafan sendiri. Amirul-Mu’minin ‘Umar akan mengirim kain kafan juga, sedekahkan saja salah satu di antaranya. Jika dapat, sedekahkan juga pakaianku.”[1]
Amirul-Mu’minin ‘Umar bin Al-Khaththab r.a. menshalati jenazah Ummul-Mu’minin Zainab binti Jahsy r.a. dan turut pula mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, pekuburan Baqi’. Zainab binti Jahsy merupakan Ummul-Mu’minin pertama yang menyusul kemangkatan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam
Beberapa orang penulis dan ahli riwayat zaman dulu tanpa sadar terperosok ke dalam perangkap kaum Yahudi, yang melalui berbagai cara menyebar cerita-cerita palsu tentang peristiwa perceraian Zainab binti Jahsy dengan Zaid bin Haritsah. Untuk tujuan mencemarkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mereka mengatakan, bahwa perceraian itu terjadi atas kehendak beliau, karena beliau “jatuh hati” melihat kecantikan Zainab, istri anak angkat beliau. Di antara mereka yang terperosok turut mengemukakan cerita palsu tersebut adalah Ath-Thabariy dan Zamakhsyari.[2] Kendati dua orang penulis dan ahli tafsir itu termasuk kaliber besar dalam jajaran kaum cendekiawan Muslim masa silam, tetapi mereka adalah tetap manusia biasa, bukan nabi dan bukan malaikat. Kelengahan mereka dalam menyeleksi atau menyaring berita-berita riwayat, bukan hal yang mustahil.
Cerita palsu yang bersumber dari cerita-cerita Yahudi (Israiliyyat) sebenarnya tidak sukar diteliti kebohongannya. Karena apa yang dinyatakan dalam cerita tersebut bertentangan sepenuhnya dengan sifat ‘ishmah para nabi dan rasul; yakni sifat kesucian mereka dari kemungkinan berbuat dosa dan kesalahan, karena perlindungan Allah yang dikaruniakan khususnya kepada mereka. Apalagi seorang nabi dan rasul, sedangkan orang biasa saja jika ia “mengincar” atau “mengingini” istri kerabatnya atau temannya, tentu didengeki dan dicela oleh masyarakatnya! Untuk menjaga kesucian nabi dan rasul-Nya, Allah SWT telah berfirman kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam :
لاتمدن عينيك الى ما متعنا به ازواجا منهم . الحجر : 88
Janganlah sekali-kali engkau mengarahkan penglihatanmu kepada kesenangan hidup, berupa istri-istri, yang telah Kami karuniakan kepada mereka. (QS Al-Hijr: 88)
Dari ayat suci tersebut saja sudah sangat jelas betapa palsu cerita Yahudi itu. Akibat kelengahan beberapa cendekiawan Muslim masa lampau seperti Ath-Thabrani dan Zamakhsyari, banyak kaum orientalis Barat yang mengunyah-ngunyah cerita sambil menyebut nama-nama cendekiawan Muslim yang mencantumkannya di dalam buku-buku yang mereka tulis.
Ada pula beberapa gelintir penulis masa kini yang berpendapat, bahwa cerita tersebut tidak mustahil terjadinya, karena Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam adalah manusia, sama dengan semua manusia lainnya. Mereka pura-pura tidak mengerti dan tidak mau tahu, bahwa seorang nabi atau rasul memiliki keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh manusia lain, yaitu ‘ishmah. Mereka mengidentikkan cerita palsu itu dengan kisah Nabi Dawud a.s. yang banyak dikemukakan oleh para ahli tafsir, bahwa—menurut anggapan mereka—Nabi Dawud a.s. terpesona melihat istri pembantu dekatnya yang bernama Auria, kemudian dengan berbagai cara beliau berusaha merenggut perempuan cantik itu dari suaminya. Pada akhirnya perempuan itu dapat dijadikan istri beliau, kendati beliau sudah mempunyai istri-istri yang banyakjumlahnya. Kisah demikian itu jelas sangat berlawanan dengan ke-‘ishmah-an seorang nabi, dan sama sekali tidak dapat dibenarkan oleh ajaran Islam. Kisah yang tidak masuk akal seperti itu justru diketengahkan oleh sebagian ahli hadis dan ahli fiqih zaman dahulu, seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al-Fathul-Bari: VIII/403, Ibnu-Arabiy da\amAhkamul-Quran: III/1530, 1532, Ibnu Katslr dalam Tafsir-nya jilid V/466, dan oleh Al-Alusiy di dalam 7a/sir-nyajilid XX/24, 25.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam telah beratus-ratus kali melihat Zainab binti Jahsy, semenjak kecil hingga remaja. Jika beliau terpikat oleh kecantikannya, mengapa tidak jauh-jauh sebelum Zainab menjadi istri Zaid bin Haritsah? Bahkan beliau sendirilah yang menikahkan Zainab dengan Zaid, karena Zainab adalah kerabat dekat beliau.
Orang tidak usah menjadi ulama besar lebih dulu untuk dapat memahami dengan jelas makna ayat-ayat 37, 38, 39, dan 40 Surah Al-Ahzab dalam Alquranul Karim. Dari rangkaian berita wahyu tersebut tidak ada pengertian lain kecuali maksud penghapusan adat tabanni (adat mengangkat anak lain sebagai anak sendiri, adopsi) dari masyarakat Islam. Selain itu sekaligus juga berupa penetapan hukum syariat, bahwa anak angkat adalah tetap anak orang lain, karena itu mantan istrinya halal dinikah oleh ayah angkatnya. []
[1]Menurut Al-Waqidiy di dalam al-hhabah danAs-Samthuts-Tsamin, Ummul-Mu’minin Zainab r.a. wafat pada tahun 20 Hijriyah. Sumber riwayat lain mengatakan, Ummul-Mu’minin Zainab r.a. wafat pada tahun 21 Hijriyah, yaitu tahun jatuhnya kota Alexandria (Mesir) ke tangan kaum Muslimin yang merebutnya dari kekuasaan Rumawi (Byzantium).
[2]Mahabbatu Al Baitin-Nabiy, hlm. 205, karya Muhammad ‘Abduh Yamani (Darul-Qiblah Lits-Tsaqafah Al-hlamiyyah, Jiddah, Arab Saudi).
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini