Dengan berakhirnya perang Khandaq kaum Muslimin pulang ke tengah keluarganya masing-masing untuk beristirahat. Akan tetapi belum lama mereka istirahat, terdengar aba-aba di siang hari bolong, yang atas perintah Nabi menyerukan, “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya janganlah menunaikan shalat ashar sebelum tiba di tengah permukiman Bani Quraidhah!” Aba-aba tersebut bukan lain adalah perintah gerakan menundukkan Yahudi Bani Quraidhah yang telah menciderai perjanjian dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Mulailah kaum Muslimin bergerak menuju permukiman Bani Quraidhah, kemudian mengepungnya rapat-rapat selama 25 hari siang-malam. Pada akhir bulan Zulqi’dah Yahudi Bani Quraidhah menyerah tanpa syarat kepada kekuatan Muslimin.
Sesudah itu kaum Muslimin bergerak lagi menundukkan perlawanan Bani Lihyan, menyusul kemudian gerakan mematahkan rencana serangan Bani Qird. Baru satu bulan atau lebih Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam beristirahat, beliau menerima laporan bahwa orang-orang Bani Mush-thaliq—sebuah marga dari Bani Khuza’ah—sedang mempersiapkan kekuatan bersenjata untuk melawan Islam dan kaum Muslimin, di bawah pimpinan Al-Harits bin Abi Dhirar. Untuk mematahkan perlawanan mereka, berangkatlah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memimpin pasukan Muslimin ke medan perang, jauh di luar kota Madinah. Dalam perjalanan ini beliau disertai oleh istrinya, ‘A’isyah r.a. Di sebuah tempat bernama Al-Muraisi’ dua pasukan saling berhadapan, kemudian terjadilah pertempuran. Peperangan berakhir dengan kemenangan pihak Muslimin. Banyak orang Bani Mushthaliq jatuh sebagai tawanan perang di tangan kaum Muslimin, termasuk sejumlah wanita. Di antara warga Bani Mushthaliq yang ditawan oleh pasukan Muslimin terdapat seorang wanita bernama Barrah binti Al-Harits bin Abi Dhirar bin Habib, yakni putri pemimpin marga Bani Mushthaliq, yang kemudian dikenal dengan nama Juwairiyyah. Nama baru itu diberikan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sendiri.
Beliau bersama semua anggota pasukan Muslimin meninggalkan medan perang Al-Muraisi’ berangkat pulang ke Madinah ….
Pada suatu hari di saat beliau sedang duduk di tempat kediaman ‘A’isyah r.a. terdengar suara seorang perempuan mengetuk pintu, minta izin menghadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ‘A’isyah r.a. segera pergi ke pintu untuk melihat siapa perempuan yang datang itu. Ternyata ia seorang wanita muda, berwajah manis rupawan. Usianya kurang-lebih baru 20 tahun. Ia tampak ketakutan. Orang yang melihatnya tentu merasa iba dan kasihan. Akan tetapi ‘A’isyah r.a. tidak senang melihatnya, bahkan jika dapat ia hendak mencegahnya bertemu dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang ketika itu sedang beristirahat. Karena perempuan muda itu terus mendesak agar diizinkan menghadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam akhirnya ‘A’isyah r.a. memberi tahu kedatangan perempuan itu kepada beliau. Setelah beroleh izin dari beliau, perempuan itu masuk. Dengan sopan dan wajah menunduk ia berkata:
“Ya Rasulullah, saya anak perempuan Al-Harits bin Abi Dhirar, pemimpin marga Bani Mushthaliq. Sebagaimana Anda ketahui sekarang ini saya sedang tertimpa musibah berat. Diriku jatuh ke tangan seorang bernama Tsabit bin Qais …. Saya hendak berusaha menebus kemer-dekaanku. Untuk itu saya datang menghadap Anda mohon pertolongan
Betapapun keras hati seseorang ia pasti akan tersentuh akal budi dan nuraninya melihat seorang wanita muda bangsawan terhormat jatuh menjadi budak yang hina-dina. Demikianlah perasaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam melihat anak perempuan Al-Harits bin Abi Dhirar, pemimpin marga Bani Mushthaliq. Beliau tahu benar, bahwa wanita yang berdiri di depannya itu seorang wanita mulia dan terhormat… sekarang datang menghadap mohon pertolongan dan perlindungan untuk menyelamatkan diri dari penghinaan orang yang memandangnya sebagai hamba sahaya. Beliau teringat, perempuan itu berubah menjadi hamba sahaya karena marganya kalah perang melawan kaum Muslimin yang beliau pimpin sendiri. Seumpama orang-orang Bani Mushthaliq tidak mencoba bergerak melawan kaum Muslimin, perempuan yang berada di depan beliau itu tentu tidak bernasib seperti sekarang. Bahkan ia akan bertambah kemuliaannya bila memeluk Islam bersama semua anggota marga dan kabilahnya …. Beliau benar-benar merasa iba dan kasihan kepada Barrah, wanita Arab keturunan Khuza’ah, anak perempuan seorang pemimpin Bani Mushthaliq… wanita elok rupawan berpakaian kusut sebagai budak belian, yang sekarang sedang berdiri di depannya gemetar ketakutan, dan tak ada orang yang dapat memulihkan kehormatannya selain beliau sendiri!
Setelah termenung beberapa saat akhirnya beliau bertanya, “Bagaimana jika kuberikan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada keinginanmu?” Barrah bingung, tidak dapat menjawab, lalu bertanya, “Apa yang lebih baik dari itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kemerdekaanmu kutebus dan engkau kujadikan istriku!”
Wajah Barrah yang pada mulanya layu, pucat, dan ketakutan, mendengar tawaran itu mendadak berubah bercahaya dan berseri-seri, kemerah-merahan warna tersiram hempasan darah dari jantung yang keras berdetak. Ia bukan hanya akan dipulihkan kedudukannya sebagai wanita merdeka, bahkan beroleh kemuliaan di dunia dan akhirat…. Tanpa banyak berpikir lagi Barrah menjawab terus terang, “Baiklah, saya terima, ya Rasulullah!”
Demikianlah proses pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Juwairiyyah binti Al-Harits r.a. sebagaimana tersebut dalam buku-buku klasik seperti Sirah Ibnu Hisyam: III/307; Al-Mihbar: 289; Tarikh Ath-Thabariy: 111/66; dan ‘Uyunul-Atsar: 11/305. Sumber riwayat lain yang tercantum di dalam Al-Isti’ab dan Al-Ishabah menuturkan sebagai berikut.
“Setelah memenangkan peperangan melawan Bani Mushthaliq, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam pulang ke Madinah membawa tawanan perang perempuan—Juwairiyyah—dengan maksud hendak dinikah. Tidak lama kemudian ayah perempuan itu datang menghadap beliau. Ia berkata, “Hai Muhammad, engkau menawan anak perempuanku, bukan? Terimalah ini tebusannya. Anak perempuanku tidak pantas engkau tawan begitu rupa…. Merdekakan dia!” Dengan tenang beliau menjawab, “Bagaimanakah pendapatmu kalau dia saya suruh memilih saja, bukankah aku sudah berbuat baik terhadapnya?” Ayah Juwairiyyah menjawab, “Benar!” Juwairiyyah lalu dipanggil dan disuruh memilih sendiri mana yang lebih baik; kembali kepada orangtuanya atau hidup bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Tanpa ragu-ragu Juwairiyyah menjawab, “Saya memilih Allah dan Rasul-Nya!”
Sumber riwayat lainnya mengatakan, bahwa ayah Juwairiyyah telah mempersiapkan dua ekor unta muda, disembunyikan di salah satu tempat, untuk menebus kemerdekaan anaknya. Ketika ia datang menghadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , belum sempat ia menyebut dua ekor unta muda yang hendak digunakan untuk menebus anaknya, keburu beliau mendahului bertanya, “Di manakah dua ekor unta muda yang hendak kau-gunakan menebus anak perempuanmu?” Ayah Juwairiyyah terperanjat mendengar pertanyaan itu. Ia bingung dari mana beliau mengetahui soal itu! Akhirnya ia menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat di depan beliau saw, “Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Anda benar-benar utusan (Rasul) Allah.” Setelah itu beliau melamar putrinya, kemudian ia selaku wali menikahkan beliau dengan Juwairiyyah atas dasar mahar (mas kawin) 400 dirham.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini