Pernikahan Juwairiyyah dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam itu sungguh berdampak sosial sangat positif, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kaumnya. Ia sendiri selamat dari perbudakan, bahkan beroleh kemuliaan yang sangat tinggi sebagai Ummul-Mu’minin. Sedangkan warga kabilahnya selain terselamatkan dari perbudakan yang memalukan, juga terselamatkan dari murka Allah di dunia dan akhirat.
Bagaimanakah ‘A’isyah r.a.? Ia masih teringat akan detik-detik perkenalan pertama dengan Juwairiyyah r.a., “Juwairiyyah wanita berwajah manis dan elok. Setiap pria yang melihatnya pasti tertarik. Ia datang menghadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam minta pertolongan mengenai penebusan dirinya. Demi Allah, begitu saya melihatnya sendiri di depan pintu kediamanku, seketika itu juga saya merasa tidak senang kepadanya. Karena saya mengerti, apa yang saya lihat pada wanita itu akan dilihat juga oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam “
Apa yang diperkirakan dan dikhawatirkan ‘A’isyah terjadi dalam kenyataan; Rasulullah melihat seorang hamba sahaya rupawan … kemudian Juwairiyyah binti Al-Harits itu menyertai kehidupan ‘A’isyah di tengah keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Juwairiyyah menjadi wanita mukminah dan muslimah yang baik dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sekaligus pula menjadi Ummul-Mu’minln.
Akan tetapi ‘A’isyah r.a. tidak sibuk memikirkan kehadiran Juwairiyyah r.a. di tengah keluarga Nabi, dan tidak pula memikirkan para pesaingnya yang lain—seperti Zainab binti Jahsy dan Ummu Salamah— sebab ia repot menghadapi kabar bohong yang dihembuskan oleh kaum munafik untuk mencemarkan dirinya dan semua keluarga Nabi, yaitu peristiwa Haditsul-Ifk yang telah kami utarakan dalam bab terdahulu.
Setelah peristiwa itu terselesaikan dan ‘A’isyah r.a. kembali dari rumah orangtuanya ke tengah keluarga Nabi, ia merasa bangga atas turunnya firman-firman Allah yang menegaskan kesucian dirinya dari tuduhan palsu yang hendak mencemarkan keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam (QS An-Nur: 11-19). Kebanggaan ‘A’isyah r.a. itu dihadapi oleh Juwairiyyah dengan kecerahan wajahnya yang manis dan menarik. ‘A’isyah r.a. sendiri dalam menghadapi para pesaingnya, seperti Zainab binti Jahsy, Ummu Salamah, dan Juwairiyyah—radhiyallahu ‘anhunna—masih dapat mengungguli mereka dengan ucapannya yang tajam “Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tidak nikah dengan gadis selain saya!” Itu merupakan kenyataan yang tak dapat disangkal oleh para istri Nabi lainnya, termasuk Juwairiyyah. Sebagaimana diketahui, sebelum Bani Mushthaliq dikalahkan dalam peperangan dan sebelum Juwairiyyah jatuh sebagai tawanan atau di tangan pasukan Muslimin, ia adalah istri Musafi’ bin Shafwan Al-Mushthaliqiy.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini