Sejarah menginformasikan bahwa sebelum kehadiran agama Islam di dunia terdapat dua peradaban besar, yaitu peradaban Yunani dan Romawi. Dunia juga mengenal dua agama besar, Yahudi dan Nasrani, kedua-duanya termasuk agama langit. Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya tidak banyak berbicara tentang hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite (raja-raja dan kaum bangsawan) kaum wanita ditempatkan (disekap) di dalam istana-istana. Sedangkan di kalangan lapisan bawah, nasib kaum wanita sangat menyedihkan. Mereka boleh diperjualbelikan di pasar, dan yang sudah berumah tangga sepenuhnya menjadi milik suaminya dan mutlak harus tunduk di bawah kekuasaan suami. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, hak waris pun tidak mereka punyai. Pada masa puncak peradaban Yunani kaum wanita beroleh kebebasan semata-mata untuk dapat memenuhi kebutuhan dan selera syahwat serta kemewahan kaum lelaki. Hubungan seksual bebas tidak dipandang melanggar kesusilaan. Tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra atau seni. Patung-patung telanjang bulat yang banyak bertebaran di negeri-negeri Barat merupakan bukti yang menunjukkan sisa-sisa pandangan mereka. Dalam mitologi mereka dewi-dewi di kahyangan melakukan hubungan gelap dengan rakyat jelata, dan dari hubungan gelap itu lahirkan “Dewi Cinta” yang terkenal dalam peradaban Yunani.
Dalam peradaban Romawi wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin kekuasaan ayah pindah ke tangan suami. Kekuasaan itu mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Keadaan seperti itu berlangsung terus hingga abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita menjadi hak keluarga yang lelaki. Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan, yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan: setiap transaksi yang dilakukan harus berdasarkan persetujuan keluarga (suami/ayah).
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik daripada peradaban-peradaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya diperabukan. Kebiasaan atau tradisi seperti itu baru berakhir pada abad ke-7 Masehi. Dalam kehidupan masyarakat Hindu wanita sering dijadikan sesajen bagi dewa-dewa mereka. Dalam sebuah sejarah kuno mereka mengatakan, “Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada perempuan.” Sementara itu dalam petuah Cina kuno terdapat ajaran, “Apa yang dikatakan perempuan boleh engkau dengar, tetapi jangan sekali-kali mempercayai kebenarannya.”
Menurut ajaran Yahudi kedudukan wanita sama dengan pembantu (pelayan). Seorang ayah berhak menjual anak perempuannya selagi belum mencapai usia akil-balig, kecuali jika ia tidak mempunyai saudara lelaki. Dalam ajaran mereka wanita dipandang sebagai sumber laknat, sebab wanitalah yang menyebabkan Adam diusir dari surga.
Menurut ajaran Nasrani pada masa itu wanita dipandang sebagai senjata iblis dalam upayanya menyesatkan manusia dan menjerumuskannya ke dalam dosa. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili untuk memperbincangkan; apakah perempuan mempunyai ruh atau tidak. Bahkan dalam abad ke-6 Masehi diselenggarakan lagi suatu konsili untuk membahas apakah wanita itu manusia atau bukan manusia. Pembahasan mengenai itu berujung pada kesimpulan, bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani kebutuhan kaum pria. Sepanjang abad-abad pertengahan nasib kaum wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan hingga tahun 1805 Masehi per-undang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya.
Demikianlah kisah ringkas kedudukan kaum wanita pada masa-masa sebelum dan menjelang kehadiran agama Islam di muka bumi yang dibawakan oleh seorang Nabi dan Rasul utusan Allah, Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini