Dari berbagai peristiwa metafisik dan fisik yang dikaruniakan Allah SWT kepada beliau sebagai keistimewaan, orang dapat terjerumus di dalam kekeliruan jika ia melihatnya sepotong-sepotong, yakni tidak sebagai kesatuan yang utuh. Misalnya, jika orang melihat keistimewaan beliau hanya dari sudut metafisik, ia tentu akan berkesan, bahwa Muhammad Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam itu bukan manusia, melainkan makhluk lain yang amat suci dan agung. Sebaliknya, jika orang melihat keistimewaan beliau dari sudut fisik, ia tentu akan sampai kepada kesimpulan beliau adalah manusia biasa yang tak ada bedanya sama sekali dengan kita. Dua kesimpulan atau dua kesan tersebut sama kelirunya. Yang benar ialah, bahwa beliau manusia tersuci pilihan Allah yang dikaruniai martabat tertinggi di antara semua umat manusia, dan dikaruniai keistimewaan-keistimewaan khusus yang tidak dikaruniakan Allah SWT kepada manusia selain beliau. Kesucian, ketinggian martabat, dan semua keistimewaan tersebut berkaitan erat dengan kedudukan beliau sebagai Penghulu para Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT membawakan kebenaran agama-Nya kepada umat manusia sejagat.
Demikian erat jalinan antara kepribadian beliau yang suci dan agung dengan keistimewaan sifat-sifat serta ketinggian martabat beliau sebagai Penghulu para Nabi dan Rasul, sehingga sulit dibedakan antara “Muhammad sebagai pribadi” dan “Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.”
Memisahkan pribadi Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam sebagai seorang pria dan sebagai suami dari pribadi beliau sebagai Nabi dan Rasul benar-benar sukar dilakukan. Demikian juga para Nabi dan Rasul sebelum beliau. Mereka itu adalah kaum pria yang diberi wahyu oleh Allah SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ
Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum engkau (hai Muhammad) selain orang-orang pria yang Kami berikan wahyu kepada mereka. (QS Yusuf: 109, An-Nahl: 43, dan Al-Anbiya’: 7)
Keyakinan bahwa semua Nabi dan Rasul adalah manusia yang dipilih dan diangkat oleh Allah SWT sendiri, di dalam agama Islam merupakan bagian dari pokok akidah. Tegasnya ialah, di dalam Islam tidak terdapat ajaran yang menerangkan adanya seorang Nabi pembawa agama Allah kepada umat manusia, yang bukan manusia atau setengah manusia dan setengah bukan manusia, seperti yang menjadi kepercayaan agama-agama lain. Dalam hal itu junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam adalah yang paling tegas memperingatkan umatnya, bahwa beliau adalah seorang manusia, bukan “tuhan” dan bukan “malaikat.” Beliau menyatakan diri sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya. Kenabian dan kerasulan sama sekali tidak meniadakan perasaan dari hatinya sebagai manusia, tidak menghilangkan naluri kodratnya, tidak menghalangi apa yang hendak dilakukan kecuali yang tidak selaras dengan kenabian dan kerasulannya. Begitu pula keadaan para Nabi dan Rasul sebelum beliau. Bukan lain adalah Allah SWT sendiri yang memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam, supaya menegaskan bahwa beliau adalah manusia seperti manusia yang lain. Tentu saja dengan beberapa perbedaan dan keistimewaan-keistimewaan tertentu sebagaimana yang telah kami utarakan.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menyaksikan beliau hidup bersama istri, mengasuh dan mendidik putra-putrinya, mempunyai perasaan seperti yang dipunyai oleh semua anak Adam seperti senang, tidak senang, suka dan tidak suka, ingin dan tidak ingin, cemas dan harapan, kangen dan rindu, letih dan capai, sehat dan sakit, hidup dan mati dan seterusnya ….
Sekaitan dengan itu semua Allah SWT berfirman:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ
قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
Muhammad tidak lain hanya seorang Rasul. Telah lampau para Rasul sebelumnya. Apakah jika ia mati atau terbunuh kalian lalu berbalik belakang? Barangsiapa yang berbalik belakang, itu sama sekali tidak merugikan Allah. (QS Ali ‘Imran: 144)
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini