Keyakinan bahwa semua Nabi dan Rasul adalah manusia yang dipilih dan diangkat oleh Allah SWT sendiri, di dalam agama Islam merupakan bagian dari pokok akidah. Tegasnya ialah, di dalam Islam tidak terdapat ajaran yang menerangkan adanya seorang Nabi pembawa agama Allah kepada umat manusia, yang bukan manusia atau setengah manusia dan setengah bukan manusia, seperti yang menjadi kepercayaan agama-agama lain. Dalam hal itu junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam adalah yang paling tegas memperingatkan umatnya, bahwa beliau adalah seorang manusia, bukan “tuhan” dan bukan “malaikat.” Beliau menyatakan diri sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya. Kenabian dan kerasulan sama sekali tidak meniadakan perasaan dari hatinya sebagai manusia, tidak menghilangkan naluri kodratnya, tidak menghalangi apa yang hendak dilakukan kecuali yang tidak selaras dengan kenabian dan kerasulannya. Begitu pula keadaan para Nabi dan Rasul sebelum beliau. Bukan lain adalah Allah SWT sendiri yang memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam, supaya menegaskan bahwa beliau adalah manusia seperti manusia yang lain. Tentu saja dengan beberapa perbedaan dan keistimewaan-keistimewaan tertentu sebagaimana yang telah kami utarakan.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menyaksikan beliau hidup bersama istri, mengasuh dan mendidik putra-putrinya, mempunyai perasaan seperti yang dipunyai oleh semua anak Adam seperti senang, tidak senang, suka dan tidak suka, ingin dan tidak ingin, cemas dan harapan, kangen dan rindu, letih dan capai, sehat dan sakit, hidup dan mati dan seterusnya ….
Sekaitan dengan itu semua Allah SWT berfirman:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ
قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
Muhammad tidak lain hanya seorang Rasul. Telah lampau para Rasul sebelumnya. Apakah jika ia mati atau terbunuh kalian lalu berbalik belakang? Barangsiapa yang berbalik belakang, itu sama sekali tidak merugikan Allah. (QS Ali ‘Imran: 144)
Jika Allah menghendaki tentu Allah berkuasa menghindarkan Nabi dan Rasul-Nya dari hal ihwal seperti itu, menyelamatkannya dari kepedihan nasib yang bakal dialami oleh anak-cucu keturunannya, tidak menghadapi kemalangan ditinggal wafat istri dan pamannya (Siti Khadijah r.a. dan Abu Thalib), dijauhkan dari fitnah dan desas-desus bohong yang mencemarkan kemuliaan martabatnya, selalu dimenangkan dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin, dihindarkan dari hal-hal yang mengecewakan perasaannya, dihindarkan dari pengejaran musuh-musuhnya dan dijauhkan dari kedengkian kaum munafik. Akan tetapi Allah SWT memerintahkan beliau supaya menyatakan kepada umatnya:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah (hai Muhammad), “Aku tidak berkuasa mendatangkan manfaat bagi diriku sendiri dan tidak pula berkuasa menolak mudarat kecuali yang telah menjadi kehendak Allah. Seumpama aku mengetahui rahasia gaib, tentu sudah kubuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku pun tidak akan tertimpa kemalangan. Aku tidak lain adalah pemberi peringatan dan menyampaikan kabar gembira bagi semua orang beriman.” (QS Al-A’raf 188)
Namun demikian, junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam tidak sepenuhnya sama dengan manusia yang lain. Allah memilihnya di antara semua makhluk yang hendak diciptakan-Nya yang hendak diutus menyampaikan kebenaran agama-Nya kepada umat manusia sejagat. Dengan demikian maka beliau adalah seorang Nabi dan Rasul utusan Allah, yang mempunyai kelebihan dari semua Nabi dan Rasul sebelum beliau. Di situlah letak kesulitan kita berbicara tentang kehidupan rumah tangga dan perasaan-perasaan beliau terhadap para istrinya.
Dilihat dari segi jasmaniah mungkin saja beliau melakukan hal-ihwal yang lazim dilakukan oleh manusia biasa seperti girang, tertawa, sedih, memberengut, marah dan sebagainya. Akan tetapi dilihat dari segi ruhaniah beliau tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan tugas kenabian dan kerasulan yang diembannya. Lebih tidak mungkin lagi jika dilihat dari sudut kemuliaan martabatnya sebagai manusia agung, dalam pandangan Allah SWT maupun dalam pandangan umatnya.
Dalam kehidupan rumah tangganya beliau dari saat ke saat menerima perintah-perintah dari Allah SWT mengenai soal-soal tertentu. Banyak kalanya hubungan beliau dengan para istrinya tunduk kepada garis pengarahan yang datang dari Rabbul-alamin. Salah satu contoh yang paling menonjol mengenai itu ialah masalah desas-desus bohong yang hendak mencemarkan kemuliaan keluarga beliau. Masalah tersebut baru dapat terselesaikan tuntas setelah turun wahyu yang menegaskan kesucian Siti ‘A’isyah r.a., istri beliau. Demikian pula masalah pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy, perceraian beliau dengan Hafshah, tetapi kemudian beliau merujuknya kembali setelah kedatangan malaikat Jibril yang membawa perintah Ilahi supaya melakukan hal itu untuk menghilangkan kesedihan ‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. (ayah Hafshah).
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini