Persahabatan beliau dengan ayah gadis remaja itu sudah cukup lama dan sudah teruji. Demikian juga keikhlasan dan kesetiaannya. Jarang sekali sahabat yang memperoleh kedudukan khusus di hati beliau seperti Abu Bakar. Sekarang sahabat yang tepercaya itu melalui Khaulah menghendaki kesediaan beliau nikah dengan putrinya. Tidak ada jawaban lain yang patut diberikan kecuali “ya.” Akan tetapi bukankah gadis itu belum dewasa? Demikian kata beliau kepada Khaulah, namun Khaulah tidak kurang akan dalam himbauannya, “Sekarang Anda lamar saja dulu, kemudian tunggu sampai ia dewasa!”
Kalau beliau harus menunggu sekian lama, tiga atau empat tahun, lalu siapakah yang mengasuh dan mengurus putri-putri beliau yang ditinggal wafat ibunya? Apakah Khaulah datang kepada beliau hanya untuk menawarkan calon istri yang harus ditunggu sekian lama? Ternyata tidak. Khaulah datang membawa nama dua orang calon untuk diajukan kepada beliau. Selain ‘A’isyah binti Abu Bakar r.a. yang masih remaja putri itu, ia juga mengajukan calon seorangjanda bernama Saudah binti Zam’ah bin Qais bin ‘Abdu Syams bin Abdi Wudd Al-‘Ami-riyyah (dari Bani Amir). Ibu janda yang dicalonkan oleh Khaulah ialah Syumus binti Qais bin Zaid bin Amr dari Bani ‘Adiy bin Najjar.
Setelah beberapa saat berpikir pada akhirnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam minta kepada Khaulah supaya mewakili beliau melamar kedua-duanya. Pertama-tama ia datang ke rumah Abu Bakar r.a. untuk melamar putrinya, ‘A’isyah r.a. Setelah itu ia pergi ke rumah Zam’ah, ayah Saudah, untuk menyampaikan lamaran Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Dalam pembicaraannya dengan Saudah binti Zam’ah, Khaulah berkata antara lain, “Hai Saudah, sungguh Allah telah melimpahkan kebajikan dan keberkahan kepadamu!” Saudah tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Khaulah, karenanya ia bertanya keheran-heranan, “Apa yang Anda maksud, Khaulah?” Khaulah cepat menjawab, “Muhammad Rasulullah mengutusku datang kemari untuk menyampaikan lamarannya!” Betapa terperanjat Saudah mendengar jawaban Khaulah. Ia hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Sambil keheranan-heranan ia mempersilakan Khaulah membicarakan hal itu langsung dengan ayahnya.
Ayah Saudah seorang sudah berusia senja. Setelah menyampaikan salam hormat menurut tradisi, Khaulah berkata, bahwa atas permintaan Muhammad bin ‘Abdullah bin Abdul-Muththalib ia datang untuk melamar Saudah. Dengan gembira Zam’ah menjawab, “Sungguh suatu kehormatan besar! Apa yang dikatakan Saudah mengenai itu?” Khaulah menerangkan bahwa Saudah menerima baik lamaran beliau atas dirinya. Zam’ah lalu memanggil anaknya (Saudah) supaya menghadap, kemudian bertanya, “Saudah, tahukah engkau bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib mengutus Khaulah datang kemari untuk melamar dirimu? Itu merupakan suatu kehormatan besar. Maukah engkau kunikahkan dengannya?” Pertanyaan itu dijawab oleh Saudah bahwa ia senang menerima lamaran tersebut dan bersedia dinikahkan dengan beliau. Pertemuan itu disudahi dengan permintaan Zam’ah kepada Khaulah supaya menghadirkan Muhammad bin Abdullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam untuk dinikahkan dengan Saudah ….
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini