Saudah r.a. tetap tinggal bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam hingga saat kedatangan ‘A’isyah binti Abu Bakar sebagai istri termuda Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Ia secara sukarela memberi tempat pertama kepada madunya itu dalam mengatur rumah tangga beliau. Bahkan berusaha memuaskan ‘A’isyah yang baru memasuki gerbang rumah tangga. Dalam masa-masa berikutnya berdatangan lagi istri-istri beliau yang lain, seperti Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Jahsy dan Ummu Salamah binti Abi Umay-yah Al-Makhzumiy—radhiyalldhu ‘anhunna. Namun Saudah r.a. tetap lebih mengutamakan ‘A’isyah r.a. daripada yang lain, tanpa menunjukkan perasaan tidak senang terhadap mereka yang selalu berusaha merebut hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam
Bagaimanapun beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sebagai suami tetap mencurahkan kasih sayang kepada Saudah. Beliau bersikap cermat dan hati-hati agar istrinya itu tidak tersentuh perasaannya karena beroleh perlakuan tidak semestinya. Sedapat mungkin beliau berusaha “menghangatkan” hati beliau sendiri terhadap Saudah r.a., tetapi naluri kodratnya sebagai pria tidak mendukung. Maksimum yang dapat beliau lakukan ialah menjaga keadilan menghadapi semua istrinya dalam hal bergilir tidur dan pemberian nafkah. Mengenai perasaan… tidak mungkin dapat dipaksa-paksakan atau ditundukkan kepada keinginan “bagi rata” di antara semua istrinya.
Pada suatu kesempatan beliau secara baik-baik dan lemah lembut disertai rasa kasih sayang menawarkan talak (perceraian) kepada Saudah r.a. Menurut beliau itulahjalan satu-satunya untuk menjaga keadilan batin, kendati beliau sendiri tidak pernah mendengar atau melihat Saudah r.a. jengkel, mengeluh atau merajuk. Betapa terkejut istri beliau itu mendengar tawaran yang tidak pernah diduga-duga. Dadanya serasa sempit dan sukar bernapas. Dengan wajah layu ia menatapkan pandangan mata kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam seraya mengulurkan kedua tangan seolah-olah mohon pertolongan dari bencana besar. Dengan iba hati beliau menyambut uluran tangan istrinya itu, seakan-akan hendak berusaha menghilangkan kecemasan istri tertua.
Setelah merasa agak tenang, dengan suara lirih terputus-putus Saudah r.a. menjawab, “Janganlah Anda melepaskan diriku. Demi Allah, sesungguhnya saya memang tidak ingin bersuami lagi (yakni lebih dari satu kali). Saya bersedia nikah dengan Anda karena saya ingin agar pada hari kiamat kelak Allah SWT akan menghidupkan saya kembali sebagai istri Anda.”[1]
Seusai mengucapkan kata-kata tersebut Saudah diam, menundukkan muka dan tampak amat sedih. Ia merasa telah memaksakan kepada suaminya sesuatu yang tidak disukainya. Ia sangat berkeberatan menyetujui perceraian, karena ia sadar telah dengan rela dan ikhlas menyerahkan hidupnya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, tetapi mengapa sekarang ia menolak kemauan suaminya. Bukankah itu perbuatan yang tidak memuaskan beliau?
Beberapa saat ia berpikir dan akhirnya ia teringat akan usianya yang sudah senja, darahnya sudah mendingin serta badannya yang sudah layu dan hilang kehangatan dan kelincahannya. Ia malu kepada suaminya jika hendak mencoba merebut hatinya dari istri-istri beliau yang lain, yang dalam banyak hal lebih menarik seperti ‘A’isyah, Zainab, Um-mu Salamah, dan Hafshah—radhiyalldhu ‘anhunna. Ia memahami bahwa dirinya tidak mungkin dapat memperoleh kecintaan dan kemesraan seperti yang mereka peroleh dari Rasulullahs aw. Bahkan ia menyadari juga, seumpama hendak mempertahankan hak giliran, ia sendiri merasa seolah-olah mempertahankan hak yang sudah tak layak lagi baginya. Karena itu dengan hati meronta ia hendak mengucapkan kata-kata, “Baiklah, ceraikan saja aku, ya Rasulullah!” tetapi kata-kata itu tertahan di dalam tenggorokan….
Lama ia diam, hatinya teriris-iris dan pikiranya bingung tak menentu. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memperhatikan wajahnya yang menunduk itu dengan hati iba penuh kasihan. Setelah tampak tenang pada akhirnya Saudah r.a. berkata dengan lembut, “Biarlah aku tetap menjadi istri Anda, ya Rasulullah. Kuberikan malam giliranku kepada ‘A’isyah, karena aku memang tidak menginginkan apa yang diinginkan oleh para istri Anda yang lain.”
Keputusan yang diambil Saudah r.a. itu benar-benar berkesan pada suaminya. Pada mulanya beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam mengira Saudah r.a. akan marah mendengar perkataan “cerai.” Akan tetapi ia bukannya marah melainkan melepaskan kepentingan pribadinya demi keridhaan beliau.
Kesepakatan mengenai itu terjadi di larut malam menjelang fajar. Rasulullah keluar dari rumah menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh, dan Saudah r.a. shalat menyendiri di rumah dengan hati tenteram dan rida. Ia banyak bersyukur kepada Allah atas pemecahan masalah yang diterima baik oleh suaminya. Dengan pemecahan itu ia terhindar dari perceraian dengan seorang suami yang diimaninya sebagai Nabi dan Rasul, hamba Allah termulia di dunia dan akhirat. Ia sama sekali tidak merasa kecil hati melepaskan hak gilirannya, karena ia menyadari dirinya yang sudah lanjut usia.
Saudah r.a. hidup di tengah keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam hingga saat beliau pulang ke haribaan Allah SWT. Menurut beberapa sumber riwayat ia dikaruniai umur panjang, dan baru meninggal dunia pada masa ke-khalifahan ‘Umar Ibnul-Khaththab r.a. Ia wafat meninggalkan kenangan indah. ‘A’isyah r.a. banyak menyebut jasa-jasa dan kebaikannya. Ia turut bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berangkat ke Makkah dalam Hijjatul-Wada . Ia bersama sejumlah wanita lain yang termasuk lemah, merupakan orang-orang yang merintis kemudahan-kemudahan tertentu—seizin Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam—dalam pelaksanaan manasik haji; seperti berangkat meninggalkan Muzdalifah, melempar jumrah sebelum fajar dan ifadhah ke Makkah. []
[1] Ibnu Hajar, Al-hhabah, VIII/117, Al-Isti’ab: IV/1876 dan ‘Uyunul-Atsar: 11/300.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini