Kaum orientalis Barat banyak berbicara tentang poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam Tujuan mereka jelas, yaitu mendiskreditkan (mencemarkan) Nabi dan Rasul penyebar agama Islam. Mereka melihat poligami yang dilakukan oleh junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam semata-mata dari sudut fisik material, tidak melihatnya dari sudut lain yang jauh lebih besar dan lebih penting. Pandangan mereka yang demikian itu disebabkan oleh fanatisme kepada agama mereka sendiri, oleh kedengkian mereka terhadap Islam dan oleh niat hendak menyesatkan orang-orang yang tidak mengetahui pokok persoalannya. Mereka meninggalkan metode ilmiah karena mereka memandang poligami sebagai perbuatan yang merugikan kaum wanita, keluarga, dan masyarakat. Mereka tidak mau melihat sama sekali adanya kemaslahatan dan keadilan apa pun yang ada di dalam poligami pada masa dahulu.
Dewasa ini orang-orang Barat tidak berani menyatakan bahwa monogami dilaksanakan sebagaimana mestinya di kalangan masyarakat mereka. Mereka menepuk dada sebagai “pembela” kaum wanita, tetapi bersamaan dengan itu menghalalkan pergaulan bebas tanpa batas antara pria dan wanita, menghalalkan “percobaan hidup bersama” selama dua tahun atau lebih sebelum nikah, menghalalkan “kumpul kebo,” menghalalkan pelacuran terbuka dan tertutup serta macam-macam pergundikan lainnya yang tidak asing lagi di negeri-negeri mereka, seperti Amerika, Eropa dan lain-lain. Mereka membual berbicara tentang “satu istri,” tetapi bersamaan dengan itu menghalalkan “peminjaman” istri orang lain untuk diajak berdansa, berbelanja, dan berwisata di dalam dan di luar negeri. Mereka berteriak tentang “emansipasi wanita,” tetapi bersamaan dengan itu menghalalkan “penjualan tubuh wanita” untuk dijadikan iklan barang dagangan, sambil mempertontonkan bagian-bagian badan tertentu yang merangsang nafsu seks, untuk dijadikan penghias majalah-majalah porno, untuk memainkan adegan-adegan ranjang di dalam film dan masih banyak lagi dekadensi wanita Barat yang mudah dicari di tengah masyarakat mereka. Dengan dalih “seni” dan “keindahan” mereka menjadikan kecantikan wanita sebagai alat pembangkit nafsu kaum pria dan sebagai “perkakas menggaruk” keuntungan. Pada zaman perbudakan kaum wanita mereka jadikan barang dagangan, dan dalam zaman “modern” sekarang ini kaum wanita mereka jadikan alat komersial. Yang amat mengherankan ialah justru ada sebagian wanita yang menerima kenyataan itu dengan senang dan bangga. Mereka lupa tuntunan agamanya, kepribadian bangsanya, dan harga dirinya sebagai wanita Timur. Mereka mengagumi dan memuliakan Ibu Kartini, tetapi ajaran-ajarannya untuk mewujudkan wanita utama di tengah bangsanya mereka abaikan. Mereka latah berbicara tentang emansipasi, tetapi yang mereka maksud dan mereka terapkan dalam praktik adalah westernisasi.
Kaum orientalis Barat dalam serangannya terhadap Islam dan kaum Muslimin menutup mata rapat-rapat terhadap kenyataan, bahwa pada zaman pertumbuhan Islam di Jazirah Arabia, semua bangsa di dunia— di Barat dan di Timur, di Utara dan di Selatan—memandang poligami sebagai sistem sosial yang wajar, bahkan tidak ada pembatasan jumlah istri bagi seorang pria. Malah ada pula di antara bangsa-bangsa yang memandang poliandri sebagai suatu tradisi, yakni seorang wanita boleh mempunyai suami sebanyak yang disukainya. Raja-raja dan bangsawan-bangsawan Eropa pada umumnya mempunyai istri lebih dari seorang, bahkan Raja Perancis, Louis II, mempunyai istri lebih dari 12 orang, belum terhitung wanita-wanita piaraan lainnya. Di kalangan bangsa Yahudi poligami tidak dibatasi. Dalam “Perjanjian Lama” kitab Raja-Raja Yang Pertama Bab 11 ayat 1-4 terdapat penjelasan bahwa Nabi Sulaiman sendiri mempunyai 700 orang istri dan 300 orang selir. Dalam buku Constitutional History of England, Jilid I, halaman 68, Henri Hallam mengatakan, “Kaum reformis Jerman yang terdiri dari para pembesar agama Nasrani mengakui keabsahan perkawinan dengan istri kedua dan ketiga bersama istri yang pertama. Keputusan itu dilaksanakan hingga abad ke-16 Masehi.”[1] Tiga abad kemudian Shopenhauer memuji sekte agama Nasrani yang menamakan diri “Sekte Mormons,” sekte yang berafiliasi dengan gereja “The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints” yang didirikan oleh joseph Smith pada tahun 1830 Masehi. Gereja itu menyerukan poligami dengan dalih, bahwa keterikatan pada seorang istri adalah tidak wajar.6 Orang Barat sendiri, sarjana Jerman bernama Edward von Hartman di dalam bukunya Philosophie des Unbe-wussten membenarkan seruan gereja tersebut. Ia mengatakan bahwa naluri alamiah lelaki cenderung kepada poligami, sedangkan naluri alamiah perempuan cenderung kepada monogami.7
Muhammad Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam datang ke tengah kehidupan umat manusia membawa amanat Allah SWT mengenai poligami, yang tidak sanggup dibawa oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya. Beliau memahami sepenuhnya kecenderungan jiwa manusia, adat kebiasaan dan tradisi sosial yang berlaku. Karena itulah beliau hanya membatasi jumlah istri, diatur demikian cermat, kemudian menetapkan hukum syariat yang sesuai dengan zamannya dan zaman-zaman berikutnya.
Dewasa ini mungkin orang menganggap poligami sebagai gejala penindasan dan perbudakan terhadap kaum wanita, yang tidak bertujuan lain kecuali untuk memuaskan kaum pria. Akan tetapi poligami pada zaman dahulu sesungguhnya sangat memberatkan kaum pria, sebab mereka harus bertanggung jawab menyelamatkan kaum wanita dari kekejaman sistem sosial yang lebih dahsyat daripada poligami, yaitu sistem perhambaan wanita yang berlaku di semua negeri.
Undang-undang secara resmi mengakui sistem perkawinan tunggal (monogami), seorang pria dilarang mempunyai istri resmi lebih dari satu, tetapi dibolehkan “berkencan,” “bergaul,” dan “berzina” dengan perempuan mana saja atas dasar kesukarelaan kedua belah pihak. Sebagai akibatnya banyak sekali jumlah anak-anak yang lahir dari kandungan ibunya tanpa diketahui jelas siapa ayahnya. Di Barat hal itu bukan merupakan keanehan lagi, malah mendapat tunjangan dari negara.
Ada pula undang-undang yang mencegah dan menangkal poligami dengan cara halus, yaitu membolehkan pria berpoligami dengan syarat, harus mendapat persetujuan istrinya. Dalam praktik hampir tidak ada seorang istri menyetujui suaminya berpoligami. Akibat persyaratan yang tidak mungkin dapat dipenuhi itu, tidak anehlah jika dalam kenyataan banyak pria yang berpoligami secara ilegal, yakni melakukan perkawinan “di bawah tangan.” Anak-anak yang lahir dari perkawinan seperti itu tentu saja tidak diakui keabsahannya oleh undang-undang. Mereka terpaksa harus menanggung konsekuensi kehilangan hak waris atas harta kekayaan peninggalan ayahnya sendiri.
Islam membatasi poligami tidak lebih dari empat orang istri. Itu pun disertai persyaratan berat, yaitu suami harus berlaku adil. Setelah firman Allah turun mengenai soal itu para sahabat Nabi yang mempunyai istri lebih dari empat orang mencerai secara baik-baik para istri selebihnya dan memberi kebebasan kepada mereka untuk nikah lagi dengan pria lain. Pembatasan tersebut tidak berlaku bagi istri Nabi, karena syariat Ilahi melarang mereka nikah dengan pria lain seumur hidup. Mengenai itu Allah berfirman:
وما كان لكم ان تؤذوا رسول الله ولا ان تنكحوا أزواجه من بعده أبدا إن ذلكم كان عند الله عظيما . الأحزاب : 52
Dan kalian tidak boleh menyakiti hati Rasulullah dan tidak boleh pula nikah dengan istri-istrinya setelah ia wafat, selama-lamanya. Perbuatan demikian itu sungguh amat besar (dosanya) dalam pandangan Allah. (QS Al-Ahzab: 53)
Sehubungan dengan ketentuan syariat itu Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam diberi kelonggaran untuk hidup bersama para istrinya yang jumlahnya lebih dari empat orang. Mengenai kelonggaran tersebut Allah berfirman:
ذلك أدنى ان تقر اعينهن ولا يحزن ويرضين بما آتيتهن كلهن . الأحزاب : 51
Hal itu lebih menyenangkan hati mereka (istri-istrimu, hai Muhammad), mereka tidak merasa sedih dan semuanya rela (puas) atas segala yang telah engkau berikan kepada mereka. (QS Al-Ahzab: 51)
———
[1] Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyiy, Keagungan Muhammad Rasulullah, Pustaka Jaya, Jakarta.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini