Allah di Belakang Umat Ini!
Sepeninggal Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Ummu Salamah berusaha menjauhkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat. Demikian pertikaian antara pihak Imam Ali bin Abi Thalib dan pihak trio ‘A’isyah, Thalhah, dan Zubair; Ummu Salamah tegas mendukung dan membenarkan Amirul-Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib r.a.
Sebenarnya ia ingin sekali membantunya secara langsung dan turut berkecimpung di dalam perjuangan memenangkan pihak Imam ‘Ali r.a., tetapi ia berpikir panjang sehingga merasa tidak layak seorang Ummul-Mu’minin turut melibatkan diri dalam pertikaian sesama kaum Muslimin. Karena itu ia merasa cukup dengan menyerahkan putranya yang bernama ‘Umar kepada Imam ‘Ali r.a. seraya berkata, “Ya Amirul Mu’minin, seumpama bukan perbuatan durhaka—dan Anda tentu tidak suka aku berbuat seperti itu—aku akan turut berjuang bersama Anda. Cukuplah anakku saja, ‘Umar, kuserahkan kepada Anda. Ia lebih kuat daripadaku. Biar dia bersama Anda dalam sedap peperangan.”[1]
Sesudah itu ia pergi menemui ‘A’isyah r.a. dan dengan marah ia berkata, “Hai ‘A’isyah, untuk apa engkau turut berkecimpung dalam peperangan …? Ketahuilah, bahwa Allah di belakang umat ini! Kalau aku berbuat seperti engkau, kemudian di akhirat kelak aku dipersilakan masuk surga Firdaus, aku benar-benar malu bertemu Rasulullah dalam keadaan aku tidak ber-hijab sebagaimana yang diwajibkan olehnya kepadaku!”
Akan tetapi ‘A’isyah r.a. tidak menghiraukan peringatan keras itu. Ia meneruskan tekadnya.
Ummu Salamah r.a. dikaruniai umur panjang hingga sempat menyaksikan cobaan berat yang menimpa Islam dan umatnya, yaitu aksi “pembantaian” di medan Karbala terhadap cucu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Al-Husain r.a. dan orang-orang keturunan ahlul-bait lainnya. Ummu Salamah wafat tidak lama sesudah mendengar berita duka tentang gugurnya Al-Husain bin Ali r.a. Demikianlah menurut beberapa sumber riwayat yang dapat dipercaya. Akan tetapi Al-Waqidiy mengatakan, bahwa Ummu Salamah r.a. wafat pada tahun 59 Hijriyah. Jenazahnya disalati oleh Abu Hurairah r.a. dan para sahabat, kemudian dimakamkan di pekuburan Baqi’. Ia banyak meriwayatkan hadis-hadis, demikian juga dua orang anaknya, Salamah dan Zainab.
Nama lengkap yang sesungguhnya adalah Hindun binti Abi Umay-yah (terkenal dengan nama julukan “Zadur-Rakb” bin Al-Mughirah bin Abdullah bin ‘Umar bin Makhzum. Ibunya bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Judzaimah bin Alqamah bin Farras. Ia adalah seorang wanita dari kabilah Al-Kinan.
Ummu Salamah (Hindun binti Abi Umayyah) lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang serba kecukupan. Ayahnya, Abi Umayyah (nama aslinya Hudzaifah bin Al-Mughirah) termasuk kaum dermawan yang tidak banyak jumlahnya. Ia dijuluki oleh masyarakatnya dengan nama “Zadur-Rakb” (bermakna “Bekal Musafir”), karena setiap orang yang diajaknya bepergian jauh, seluruh kebutuhannya ditanggung olehnya sendiri, yakni oleh Abi Umayyah.[2]
Ummu Salamah dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang pria yang kaya juga, bernama Abdullah bin Abdul-Asad bin Hilal bin Abdullah bin ‘Umar bin Makhzum, yang kemudian terkenal dengan nama Abu Salamah. Abdullah bin Abdul-Asad atau Abu Salamah adalah saudara seibu-sesusuan dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Baik beliau maupun Abu Salamah, beberapa waktu setelah lahir, disusui oleh Tsuwaibah, seorang wanita hamba sahaya milik Abu Lahab.[3] Kecuali itu Abu Salamah juga anak lelaki bibi Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam yang bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam meninggalkan Madinah memimpin operasi keamanan untuk melumpuhkan rencana pemberontakan musyrikin di kawasan ‘Usyairah, beliau mengangkat Abu Salamah sebagai penanggungjawab keselamatan dan keamanan kota Madinah.
Ummu Salamah dan suaminya, Abu Salamah, kedua-duanya termasuk orang yang dini memeluk Islam, yakni termasuk kaum As-sdbiqun al-awwalun. Mereka berdua dalam memeluk agama Islam hanya keda-huluan oleh 10 orang. Dua orang suami-istri itu juga termasuk dalam rombongan pertama kaum Muslimin yang berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) untuk mempertahankan agamanya. Di sana lahirlah anak yang pertama, diberi nama Salamah (lelaki). Nama anak lelaki yang pertama itulah yang kemudian dijadikan nama alias (julukan), sehingga nama ‘Abdullah bin ‘Abdul-Asad berubah menjadi “Abu Salamah”, dan nama istrinya, Hindun binti Abi Umayyah, berubah menjadi “Ummu Salamah.”[4]
Abu Salamah terjun langsung dalam perang Badr dan perang Uhud. Dalam perang Uhud ia menderita luka parah dan akibat luka-lukanya itu ia wafat, meninggalkan istri dan beberapa orang anak.
Usai pemboikotan ekonomi dan sosial oleh kaum musyrikin Quraisy terhadap orang-orang Bani Hasyim, yang berlangsung selama kurang-lebih tiga tahun; Abu Salamah bersama istri dan anaknya pulang ke Makkah. Tidak lama kemudian mereka berangkat lagi meninggalkan Makkah berhijrah ke Madinah.
Beberapa lama setelah menjadi istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , Ummu Salamah r.a. melihat beliau di rumahnya memeluk Fathimah Az-Zahra r.a., Al-Hasan, dan Al-Husain—radhiyallahu ‘anhuma—seraya berucap, “Rahmatullah wa barakdtuhu ‘alaikum ahlul-bait, innahu Hamidun Majid” (“rahmat dan berkah Allah terlimpah atas kalian, hai ahlul-bait, sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Mahamulia”). Menyaksikan kejadian itu Ummu Salamah r.a. tidak dapat menahan tangis, kemudian berkata kepada beliau sambil memegangi anak perempuannya yang bernama Zainab, “Ya Rasulullah, Anda mengistimewakan mereka dan membiarkan saya dan anak perempuanku!” Beliau menjawab, “Engkau dan anak perempuanmu termasuk ahlul-bait.”15
Ummu Salamah r.a. termasuk wanita yang berpandangan tajam. Ketika ia bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berada di Hudaibiyyah terhalang memasuki Makkah hendak berumrah, dirintangi kaum musyrikin Quraisy; banyak di antara pengikut beliau yang karena tidak sabar dan tidak memahami kebijakan beliau, secara diam-diam tidak mau melaksanakan perintah beliau supaya menyembelih ternak budnah (yang dibawa dari Madinah) dan mencukur rambut. Melihat kenyataan tersebut Ummu Salamah r.a. menyarankan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam agar beliau sendiri melakukan hal itu lebih dulu. Ummu Salamah yakin, setelah beliau melakukannya, semua pengikut beliau pasti akan beramai-ramai melaksanakan perintah yang pada mulanya tidak dihiraukan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menerima baik saran Ummu Salamah r.a., dan ternyata setelah beliau sendiri menyembelih ternak budnah-nya dan memotong rambutnya, semua pengikut beliau dengan serentak dan beramai-ramai melaksanakan perintah beliau. Demikian sibuk mereka saling mencukur dan memotong rambut hingga banyak yang nyaris terkena pisau.16 []
________________________________________
- Musnad Ibnu Hanbai. VI/296, 304; Al-Fadha’il: 986; Adz-Dzurriyyatuth-Thahirah: 203; Tafsir Ath-Thabariy: XXII/7′; Al-Qurthubiy: XIV/182 dan As-Samthuts-Tsamin: Beberapa sumber riwayat lainnya menuturkan, bahwa saat itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menjawab, “Engkau dan anak perempuanmu berada di dalam kebajikan.” Sumber-sumber ini menyebut, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib r.a. ketika itu hadir dan termasuk ahlul-bait yang dipeluk Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam
- HMH Al-Hamid Al-Husaini, Siratul-Mushthafa:
[1] ‘Umar turut serta dalam pera Amirul Mu’minin Imam ‘Ali set
[2] Al-hhabah: IV/458.
[3] Nasab (hiraisy: 337 dan Jamharatu Ansabil-Arab: 134.
[4] Al-hhabah: IV/458.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini