Zaid mematuhi nasihat beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Ia mencoba berusaha menahan derita batin yang tidak diketahui kapan akan berakhir. Sejak Zainab belum menjadi istrinya, Zaid sudah mendengar bahwa Zainab pasti tidak akan dapat menerimanya sebagai suami. Akan tetapi atas kemau-an Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ia—walaupun dengan hati berat—menuruti apa yang menjadi kehendak beliau. Ia yakin bahwa di balik kehendak beliau tentu terdapat hikmah kebajikan. Namun, bagaimanapun Zaid sadar, bahwa dalam segala hal ia lebih rendah daripada Zainab. Karena itu ia membayang-bayangkan perlakuan apa yang akan diberikan oleh Zainab kepada dirinya sebagai suami yang berasal dari rakyat jelata! Bayangan kelabu yang sering tergambar di dalam pikiran Zaid seperti itu besar kemungkinannya akan menjadi kenyataan ….
Zainab binti Jahsy pun kalau bukan karena desakan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tetap akan menolak dinikahkan dengan Zaid. Lebih-lebih lagi setelah beliau memberitahukan kepadanya wahyu Ilahi yang turun berkenaan dengan sikapnya yang terus bersikeras. Walaupun pada akhirnya ia bersedia dinikahkan, tetapi dalam hati ia tetap menolak. Ia tetap memandang Zaid sebagai “budak” yang dimerdekakan oleh tuannya. Ia berpikir, apakah wanita terhormat lagi bangsawan rela dinikahkan dengan orang seperti Zaid? Baiklah… apa boleh buat, karena sudah menjadi kehendak Allah dan Rasul-Nya, tetapi … ia tidak mau mengajaknya berbicara, tidak sudi disentuh …. Alangkah malunya menjadi istri seorang bekas “budak”! Boleh tinggal serumah, tetapi tempat berjauhan, boleh orang menyebutnya “istri Zaid,” tetapi ia akan terus mengejeknya, merendahkannya, menolak keinginannya … biarlah ia tertusuk perasaannya. Kesabaran Zaid tokh ada batasnya juga ….
Terjadilah apa yang diinginkan Zainab binti Jahsy. Zaid tidak lagi sanggup menahan kesabaran lebih lama lagi. Harga dirinya sebagai pria pantang bertekuk lutut di depan wanita. Daripada tubuh hancur dirundung malang karena istri pembangkang lebih baik bersikap jantan. Wanita beriman bukan hanya Zainab binti Jahsy …. Zaid berkata terus terang kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , bahwa ia tak tahan lagi menghadapi istrinya. Beliau tentu saja tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak mungkin dipikul oleh Zaid… dan akhirnya terjadilah perceraian antara Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy.
Meskipun Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam seorang Nabi dan Rasul, namun sebagai manusia hamba Allah tidak mengetahui apa yang menjadi kehendak Allah terhadap dirinya. Perceraian Zaid dengan Zainab binti Jahsy yang telah beliau usahakan agar tidak sampai terjadi, bahkan beliau berulang-ulang menyuruh Zaid supaya mempertahankan istrinya dan lebih bersabar lagi; terbukti tidak dapat dicegah lagi. Tiada kekuatan apa pun yang dapat merintangi terjadinya sesuatu yang telah dikehendaki Allah. Dengan peristiwa tersebut ternyata Allah menghendaki agar diri beliau menjadi orang pertama yang mendobrak tradisi jahiliyah yang sudah berabad-abad berurat dan berakar di dalam tubuh masyarakat Arab, yaitu tradisi dzihar2 dan tradisi tabani* dua macam tradisi yang sama sekali tidak wajar serta merusak kemaslahatan kaum wanita dan anak.
Tidak berapa lama setelah Zaid mencerai istrinya, Zainab, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menerima firman Allah SWT yang menegaskan (QS Al-Ahzab: 4):
ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفه وما جعل ازواجكم الئي تظهرون منهن أمهتكم وما جعل ادعياءكم ابناءكم ذلكم قولكم بأفواهكم واله يقول الحق وهو يهدي السبيل . الأحزاب : 4
Allah sama sekali tidak memberikan kepada seseorang dua buah hati di dalam rongga dadanya, dan Allah tidak menjadikan istri-istri kalian yang kalian dzihar itu sama dengan ibu-ibu kalian. Tidak pula Allah membuat anak-anak angkat kalian sama dengan anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah kata-kata yang kalian ucapkan dengan mulut kalian. Allah menyatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (lurus).
Dengan turunnya firman Allah yang menegaskan kedudukan anak angkat itu bukan anak sendiri, maka gugurlah sudah hubungan antara Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan Zaid sebagai “ayah” dan “anak.” Zaid tidak boleh lagi dipanggil dengan nama “Zaid bin Muhammad,” ia harus dipanggil dengan nama yang sebenarnya, yaitu “Zaid bin Haritsah.” Zaid adalah orang lain yang hidup di bawah asuhan Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Hukum yang mengatur hubungan antara ayah dan anak atau sebaliknya, tidak berlaku lagi bagi hubungan antara Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan Zaid serta sebaliknya. Zaid tidak lebih adalah seorang beriman yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta serta sebagai saudara seagama. Semuanya itu berarti anak angkat boleh nikah dengan bekas istri ayah angkatnya (selain Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ) dan ayah angkat pun boleh nikah dengan bekas istri anak angkatnya. Kedudukan hukum yang berubah dalam hubungan antara anak angkat dan ayah angkat, tentu saja menimbulkan keguncangan bagi orang-orang yang belum beriman, tetapi bagi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan Zaid perintah Allah adalah di atas segala-galanya ….
Menyusul kemudian firman Allah SWT lainnya yang turun sebagai konsekuensi perubahan hukum tersebut. Dalam hal itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sendiri yang diperintahkan Allah supaya tampil sebagai contoh pendobrakan tradisi jahiliyah mengenai tabanni. Allah SWT berfirman:
فلما قضى زيد منها وطرا زوجنكها لكي لا يكون على المؤمنين حرج في ازواج ادعيائهم اذا قضوا منهن وطرا وكان امر الله مفعولا . الأحزاب : 37
Maka setelah Zaid meluluskan kemauan perempuan itu (mencerai Zainab) Kami nikahkan dia (perempuan itu) denganmu, agar kelak tiada halangan lagi bagi orang-orang beriman nikah dengan bekas istri anak angkat mereka, apabila kemauan mereka (para istri itu) sudah mereka luluskan (sudah mereka cerai). Perintah Allah itu mesti dilaksanakan. (QS Al-Ahzab: 37)
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini