Sekalipun Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam telah berbulat tekad hendak mendobrak tradisi jahiliyah mengenai tabanni itu dan memahami sepenuhnya apa yang telah diperintahkan Allah kepada dirinya, beliau merasa masih belum sanggup melaksanakan perintah tersebut, yakni keharusan beliau nikah dengan Zainab. Beliau masih memikirkan, betapa besar reaksi masyarakat jika mengetahui beliau nikah dengan bekas istri anak angkatnya sendiri. Karena kekhawtiran beliau itu turunlah firman Allah yang bersifat teguran:
وتخفي في نفسك ما الله مبديه وتخشى الناس والله احق ان تخشه . الأحزاب : 37
Dan engkau rnenyembunyikan sesuatu di dalam hatimu yang oleh Tuhanmu sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia, padahal hanya Allah sajalah yang lebih patut engkau takuti. (QS Al-Ahzab: 37)
***
Akan tetapi beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam adalah seorang Nabi dan Rasul yang wajib menjadi teladan tinggi dan mulia bagi umatnya. Apa pun perintah Allah yang dipikulkan kepadanya harus dilaksanakan, tidak ada pilihan lain dan tidak peduli betapa risiko yang akan dihadapi. Takut atau khawatir menghadapi manusia bukan sifat seorang Nabi dan Rasul. Beliau tidak takut kepada apa pun selain Allah Rabbul-‘dlamin. Pada akhirnya nikahlah beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Zainab bin Jahsy, istri bekas anak angkatnya, agar beliau dapat menjadi teladan bagi umatnya dalam hal penghapusan sistem adopsi.
Demikian itulah peristiwa sejarah sebenarnya mengenai pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsy, seorang wanita putri bibi beliau sendiri. Bagi beliau Zainab bukan wanita yang baru dikenal, beliau tahu sejak Zainab masih kanak-kanak. Seberapa jauh kecantikannya pun bukan soal baru bagi beliau. Beliau yang menikahkan Zaid dengan saudara sepupunya itu, dan setelah Zaid nikah dengannya pun beliau sering melihat Zainab, karena ketika itu hijab belum disyariat-kan. Sebagai saudara sepupu maupun sebagai istri anak angkat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , Zainab sering bertemu dengan beliau sehubungan dengan keluhan dan pengaduan yang dilakukan oleh Zaid berulang-ulang kepada beliau. Setelah Zaid dan Zainab tidak dapat dirukunkan, beliau tidak dapat mencegah tindakan Zaid menceraikan istrinya. Tidak berapa lama turunlah firman-firman Allah sebagaimana yang telah kami utarakan, kemudian terjadilah pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy.
Itulah yang terjadi, tidak ada hal-hal yang luar biasa atau hal-hal yang membangkitkan reaksi negatif dari kaum Muslimin. Persoalannya tidak seperti yang dikhayalkan oleh kaum orientalis dan misi-misi penginjil seperti Lammens, Dermenghem, Weil, Sprenger, Irving, Muir dan lain-lain; orang-orang yang gemar menulis sejarah kehidupan Muhammad Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan berbagai cara pemutarbalikan dan menurut angan-angan serta khayalannya masing-masing. Mereka tidak segan-segan memperkosa sejarah dan mencari cerita-cerita tanpa dasar untuk dijadikan ujung tombak terhadap Nabi agama Islam dan kaum Muslimin. Mereka menggambarkan seolah-olah Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam tergiur melihat kecantikan paras Zainab, kemudian beliau menyuruh atau menganjurkan Zaid supaya mencerai istrinya agar dapat dinikah sendiri oleh beliau. Demikian jahat gambaran yang mereka lukiskan tentang asal mula pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsy. Akan tetapi itu tidak mengherankan, sebab seperti yang dikatakan oleh Muhammad Husain Haikal, “Ya, kadang-kadang itu adalah nafsu misi penginjilan yang secara terang-terangan, dan kadang-kadang cara misi penginjilan atas nama ilmu pengetahuan. Sikap permusuhan lama terhadap Islam merupakan kedengkian yang sudah berurat berakar dalam jiwa mereka sejak terjadinya Perang Salib dulu. Itulah yang mengilhami mereka semua dalam penulisan sejarah perkawinan Nabi Muhammad, khususnya perkawinan beliau dengan Zainab binti Jahsy ….”[1]
Tidak perlu kita berpanjang lebar membicarakan kaum orientalis dan kaum misionaris (kaum penginjil). Marilah kita menoleh sebentar kepada abad-abad pertama Hijriyah, untuk dapat mengetahui sumber cerita lemah yang mereka “olah” lalu dihantamkan kepada agama Islam.
Orang yang paling terdahulu menceritakan riwayat mengenai soal itu—sepanjang pengetahuan saya—ialah Abu Ja’far bin Habib (wafat tahun 245 H). Dalam ceritanya itu ia sama sekali tidak menyebut sumbernya. Menyusul kemudian Imam Ath-Thabariy (wafat tahun 310 H). Di dalam Tarikh-nya ia mengetengahkan cerita itu dan dikatakannya berasal dari orang-orang terkenal generasi Tabi’In.[2] Akan tetapi setiap orang yang menelaah riwayat yang ditulis oleh orang-orang yang hidup dalam zaman lebih dari 1000 tahun silam itu, sama sekali bukan riwayat yang bersumber dari para istri Nabi sendiri, seperti riwayat-riwayat lain yang terdapat di dalam Enam Kitab Hadis Sahih (Ash-Shihahus Sittah). Ath-Thabariy sebagai orang yang mengetengahkan riwayat tersebut di atas, dalam kitab Tafsir-nya, Al-‘Umdah, sama sekali tidak merujuk cerita yang dikemukakan dalam Tarikh yang ditulisnya sendiri.
Di dalam tafsirnya mengenai ayat-ayat dalam Surah Al-Ahzab (ayat 36 dan 37), apa yang dikatakan oleh Ath-Thabariy mengenai persoalan Zainab binti Jahsy hampir tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan dalam kitab-kitab yang kami sebut tadi. Sebagai contoh kita kutip saja apa yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Abdul-Birr.
“Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa sebelum ia (yakni sebelum Zainab) dinikah oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam wanita itu adalah istri Zaid bin Haritsah. Setelah ia dicerai oleh Zaid dan habis masa ‘iddahnya, ia (Zainab) dinikah oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Mengenai pernikahan beliau dengan Zainab itu kaum munafik berkata, ‘Muhammad mengharamkan orang nikah dengan bekas istri anaknya, tetapi ia sendiri nikah dengan bekas istri anak lelakinya (yakni Zaid).’ Sehubungan dengan celotehan mereka itu, turunlah firman Allah, Muhammad itu sama sekali bukan ayah dari seorang lelaki di antara kalian …. (QS Al-Ahzab: 40). Kemudian turun pula firman Allah, Panggillah mereka (anak-anak angkat) dengan nama ayah mereka sendiri…. (QS Al-Ahzab: 5). Mulai saat itu Zaid dipanggil dengan nama “Zaid bin Haritsah.” Sebelumnya ia selalu dipanggil dengan nama “Zaid bin Muhammad.”
Seperti itu jugalah yang termaktub di dalam Tafsir Ath-Thabariy, Al-Ishabah, dan di dalam ‘Uyunul-Atsar, dengan kelainan susunan redaksi sedikit yang tidak berkaitan dengan pokok persoalannya.
[1]Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta. (Lihat hlm. 368, dengan perbaikan redaksi sedikit).
[2]Ath-Thabariy sering menyajikan riwayat yang lemah dan tidak faktual di dalam Tdrikh-nya. Hal itu diakuinya sendiri dalam mukadimah buku tersebut, “Saya hanya menyampaikan. Silakan kalian meneliti sendiri kebenarannya,” demikian Ath-Thabariy.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini