Walimah dan Hijab
Menurut Al-Waqidiy di dalam Thabagat Ibnu Sa’ad dan Al-Ishabah, pada saat-saat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sedang bercakap-cakap dengan ‘A’isyah r.a., tiba-tiba beliau lelap dalam ghasy-yah[1] melihat Malaikat Jibril a.s. datang menyampaikan wahyu Ilahi kepada beliau. Beberapa saat kemudian beliau terjaga seraya tersenyum dan bertanya, “Siapakah yang mau pergi kepada Zainab untuk menyampaikan kabar gembira?” Beliau lalu mengucapkan firman Allah yang baru saja diterimanya, yaitu sebagaimana termaktub di dalam Surah Al-Ahzab ayat 37.
Orang yang diminta menyampaikan berita wahyu tersebut segera lari pergi ke rumah Zainab binti Jahsy. Sementara riwayat mengatakan, orang yang menyampaikan kabar gembira itu ialah Salma, pelayan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , ada pula riwayat yang mengatakan bahwa yang menyampaikan kepada Zainab ialah Zaid sendiri. Menerima berita seperti itu Zainab bukan kepalang senangnya. Ia segera shalat memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Demikian menurut Ath-Thabariy di dalam Tdrikh-nya, Jilid III, halaman 43 dan Shahih Muslim, bab II, halaman 1048.
Pada hari pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsy diselenggarakan walimah. Untuk itu beliau memotong sendiri seekor kambing, dan menyuruh Anas bin Malik mengundang sejumlah sahabat. Mengenai walimah itu Anas menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut, “Setelah semua hadirin menyantap hidangan, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam menyuruh supaya mengakhiri walimah. Akan tetapi masih ada beberapa kelompok hadirin yang asyik berbincang-bincang di dalam rumah. Ketika itu beliau tetap duduk di tempat, sedangkan istri beliau (Zainab binti Jahsy r.a.) duduk membelakangi dinding. Mereka terus asyik berbincang-bincang sehingga beliau dan istrinya benar-benar merasa terganggu.”
Mengenai saat-saat seusai walimah sumber riwayat lain menuturkan seperti berikut ini.
Setelah walimah itu bubar masih tinggal dua orang lelaki yang terus asyik berbincang-bincang, tidak keluar meninggalkan tempat. Karena itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam lalu keluar untuk menemui para istri beliau seorang demi seorang. Kepada masing-masing dari mereka beliau mengucapkan salam dan disambut baik oleh mereka semua. Setelah itu beliau pulang ke tempat kediamannya bersama Zainab binti Jahsy r.a. Ketika beliau hendak masuk, dari pintu tampak dua orang lelaki yang berada di dalam sejak tadi masih terus bercakap-cakap. Beberapa lama beliau menanti dan akhirnya keluarlah dua orang itu meninggalkan tempat. Sekaitan dengan peristiwa itu turunlah firman Allah SWT:
يايها الذين امنوا لا تدخلوا بيوت النبي إلا ان يؤذن لكم الى طعام غير نظرين انىه ولكن اذا دعيتم فادخلوا فإذا طعمتم فانتشروا ولا مستأنسين لحديث إن ذلمك كان يؤذى النبي فيستحيي منكم والله لا يستحيي من الحق وإذا سالتموهن متاعا فسئلوهن من وراء حجاب ذلكم أطهر لقلوبكم وقلوبهن وما كان لكم أن تؤذوا رسول الله ولا ان تنكحوا ازواجه من بعده ابدا إن ذلكم كان عند الله عظيما . الأحزاب : 52
Hai orang-orang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi kecuali jika kalian diizinkan masuk untuk makan, (tetapi) tidak boleh kalian menunggu (makanan) sedang dimasak. Bila kalian diundang maka masuklah, dan sehabis makan hendaklah kalian segera keluar (meninggalkan tempat) tanpa banyak berbincang-bincang. (Sebab) hal demikian itu sungguh mengganggu Nabi sehingga ia malu (menyuruh kalian keluar), tetapi Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kalian hendak minta sesuatu (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah) hendaklah kalian minta dari belakang tabir. Cara demikian itu lebih menjamin kebersihan hati kalian dan hati mereka. Janganlah kalian menyakiti hati Rasulullah, dan selamanya kalian tidak boleh menikahi istri-istrinya setelah (ditinggal) wafat. Perbuatan demikian itu amat besar dosanya dalam pandangan Allah. (QS Al-Ahzab: 53)
Sejak itu hijab diwajibkan terhadap semua istri Nabi dan segenap wanita beriman. Hijab dipandang sebagai lambang penjagaan kehormatan diri, kemuliaan, dan mencegah terjadinya hal-ihwal yang tidak terpuji.
[1] Tenggelam dalam alam ruhani.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini