Pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsy r.a. terjadi dalam tahun ke-5 Hijriyah. Ketika itu Zainab berusia 35 tahun. Demikian menurut Al-Waqidiy di dalam Al-Ishabah: VIII/93 dan ‘Uyunul-Atsar: 11/304. Nama asli Zainab ialah Barrah. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sendiri yang memberinya nama baru Zainab. Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadis berasal dari Zainab binti Abu Salamah (putri Ummu Salamah, anak tiri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ) yang menuturkan bahwasanya Ummul-Mu’minin Zainab binti Jahsy r.a. pernah mengatakan sendiri, “Nama saya adalah Barrah, kemudian Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam memberiku nama Zainab
Terlaksana sudah pernikahan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsy r.a. atas dasar kehendak dan perintah Ilahi. Menghadapi tambahan istri Nabi yang baru datang itu ‘A’isyah r.a. benar-benar tercekam rasa kecemburuan siang dan malam. Lebih menjengkelkan lagi karena Zainab berparas cantik, sedangkan ia (‘A’isyah r.a.) merasa paling layak membanggakan kecantikan yang dikaruniakan Allah kepada dirinya. Akan tetapi bukan ‘A’isyah r.a. sendiri saja yang merasa panas di hati, para istri Nabi yang lain pun demikian. Mereka tidak senang terhadap “pengantin” yang baru itu. Lebih-lebih karena “sang pengantin” tampak jelas memperlihatkan diri sebagai istri Nabi yang tercantik, termulia, dan terdekat hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, bahkan Allah sendirilah yang menikahkannya dengan beliau! Perasaan Zainab binti Jahsy yang demikian itu pada mulanya ditutup rapat dalam hati, tetapi setelah ia mengetahui dirinya tidak disukai oleh para istri Nabi yang lain ia secara terang-terangan berkata kepada mereka, “Waliku[1] lebih mulia daripada wali-wali kalian! Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan saya… Allah menikahkan diriku dari atas tujuh petala langit!”[2]
Diam-diam Ummu Salamah r.a. merasa “senang” dengan datangnya Zainab r.a. di tengah keluarga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam , karena—menurut anggapannya—Zainab akan dapat meredam ketinggian hati ‘A’isyah r.a., istri yang beroleh tempat istimewa di dalam hati suaminya, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam Bukan rahasia lagi, bahwa ‘A’isyah r.a. tidak menyembunyikan kecemburuannya terhadap Zainab, demikian juga terhadap Ummu Salamah r.a. Bahkan ia mengakui terus terang, bahwa dua orang wanita itu adalah istri-istri Nabi yang paling disayang sesudah dirinya sendiri. Di antara dua orang istri Nabi itu, bagi ‘A’isyah r.a. Zainablah yang paling menjengkelkan, hingga pada suatu saat ia pernah berkata, “Tidak ada seorang pun dari para istri Nabi yang menjadi saingan berat bagiku selain Zainab.”[3]
[1]Waliku = yakni pihak yang menikahkan diriku.
[2]Thabaaat Ibnu Sa’ad: VIII/73; Al-Mahbar: 86; Al-Isti’ab, ‘Uyunul-Atsar.
[3]Sirah Ibnu Hisyam: 111/311; Al-Isti’ab, dan ‘Uyunul-Atsar.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini