Al-Harits yang oleh Abdul-Muththalib diperintah menyusul Abdullah ke Yatsrib (Madinah) yang sedang sakit, telah tiba kembali di Makkah… seorang diri. Ia pulang membawa berita sedih kepada ayahnya, kepada Aminah dan kepada kaum kerabat Bani Hasyim. Abdullah bin Abdul-Muththalib telah wafat di tengah kaum kerabat dari pihak ibunya, Bani Makhzum. Ia wafat dalam perjalanan pulang ke Makkah bersama kafilah Quraisy yang kembali dari Syam. Berbagai sumber riwayat menerangkan, jenazahnya dimakamkan di tempat ia wafat, tidak jauh dari Yatsrib (Madinah).
Betapa hancur hati Aminah mendengar berita yang sangat menyedihkan itu. Dua bulan ia menunggu kedatangan suaminya yang meninggalkan rumah dalam keadaan pengantin baru, tetapi yang datang bukan Abdullah, melainkan berita wafatnya yang disampaikan oleh Al-Harits bin Abdul-Muththalib. Apa daya, ajal suaminya tak dapat ditangguhkan, sebab Allah tidak menghendaki selain itu. Siang dan malam Aminah tidak dapat menahan air mata hingga dua belah pelupuknya membengkak. Tak ada yang dapat meringankan perasaannya dan tak ada yang sanggup meredakan duka deritanya selain kesadaran berserah diri kepada Allah Maha Pencipta. Kadang-kadang ia meragukan kebenaran berita yang disampaikan oleh Al-Harits, tetapi setelah dipikir lebih jauh ia berkesimpulan, tidak mungkin Al-Harits bohong. Hati Aminah seolah-olah hendak meronta dan menjerit, tetapi keimanannya kepada suratan takdir Ilahi lebih kuat daripada gejolak perasaannya.Berhari-hari Aminah terundung sedih dan selalu menangis setiap saat teringat akan suaminya yang telah tiada, hingga semua keluarga Bani Hasyim dan Bani Zuhrah merasa sangat khawatir, lebih-lebih karena ia sedang hamil. Akan tetapi pada akhirnya Aminah menyadari setelah ia memahami hikmah kejadian yang memilukan itu. Pada waktu masih jejaka Abdullah nyaris dikorbankan nyawanya untuk memenuhi nazar ayahnya, Abdul-Muththalib.[1] Ia selamat berkat perubahan sikap ayahnya yang bersedia menebus nazarnya dengan menyembelih seratus ekor unta kurban. Tampaknya Allah memberi kesempatan hidup sementara kepada Abdullah hingga saat ia meninggalkan janin di dalam kandungan istrinya …janin seorang calon Nabi penutup pilihan Allah. Hanya untuk kepentingan janin itu sajalah ia dipertemukan oleh Allah dengan Aminah sebagai suami-istri!
Sejak Aminah menyadari hikmah tersebut lambat laun kesedihan hatinya semakin reda dan pikirannya pun semakin tenang. Ia menumpahkan pikiran dan perasaannya kepada putranya yang masih berada di dalam kandungan….
Nasib suami-istri Abdullah dan Aminah sungguh menarik perhatian penduduk Makkah. Mereka menghubungkan kemalangan keluarga Abdul-Muththalib itu dengan berita-berita yang sudah lama tersebar di Semenanjung Arabia mengenai akan lahirnya seorang nabi dari kalangan bangsa Arab. Bagi Aminah desas-desus santer demikian itu selalu dikaitkan dengan apa yang pernah dikatakan oleh saudara perempuan Waraqah bin Naufal, Fathimah binti Murr—yang menurut sejarawan Ibnul-Atsir, wanita itu seorang ahli nujum dari Bani Khats’am—tentang cahaya yang berpindah dari Abdullah kepada istrinya.
Kendati Aminah merasa bahagia akan melahirkan seorang putra termulia di dunia, bahkan seorang Nabi bagi seluruh umat manusia, namun ia masih sedih kesunyian mengenang suami yang tak akan kembali lagi. Hiburan satu-satunya yang menenteramkan hatinya ialah gerak janin di dalam kandungannya ….
Beberapa minggu menjelang kelahiran putranya yang dinantikan itu, tiba-tiba datanglah ayah mertuanya, Abdul-Muththalib, menyarankan supaya Aminah berkemas-kemas siap mengungsi ke luar kota Makkah untuk menyelamatkan diri bersama orang-orang Quraisy lainnya. Mengungsi ke daerah pegunungan sekitar Makkah, karena ‘Abdul-Muththalib sangat mengkhawatirkan keganasan penguasa Habasyah dari Yaman, Abrahah, yang hendak menyerbu Makkah untuk menghancurkan Rumah Suci Ka’bah. Kepada Abdul-Muththalib Aminah bertanya, “Paman, saya mendengar orang-orang Quraisy, Kinanah, Hudzail dan semua yang tinggal di tanah suci ini telah bertekad hendak berperang melawan setiap penyerbu. Apakah ada suatu kesukaran hingga mereka hendak meninggalkan Ka’bah dan tidak mau membelanya?”
Abdul-Muththalib menjawab, “Kita tidak mempunyai kekuatan yang seimbang dengan kekuatan musuh. Jika kita melawan dengan senjata, kita akan hancur dan menderita kekalahan yang sangat merugikan.”
Setelah memberi penjelasan seperlunya ‘Abdul-Muththalib sambil bangun dari tempat duduknya berpesan, esok hari ia akan mengirim seorang untuk menemani Aminah berangkat menyusul orang-orang yang sudah meninggalkan Makkah. Pikiran Aminah terpancang pada dirinya sendiri dan kepada putra yang masih dalam kandungan. Ia khawatir kalau-kalau putranya akan lahir di luar kota suci, tidak di dalam rumah ayahnya sendiri yang telah wafat. Ia bingung, tetapi pada akhirnya ia yakin bahwa Allah sendirilah yang pasti akan menyalamatkan Rumah Suci Ka’bah. Keesokan harinya ia bangun tidur dan sekonyong-konyong hatinya bulat bertekad tidak meninggalkan rumahnya yang terletak dekat Ka’bah. Biarlah Allah yang akan menentukan keputus-an-Nya.
Hingga siang hari tidak seorang pun datang ke rumah Aminah sebagaimana yang dikatakan oleh mertuanya. Keadaan permukiman sekitarnya sunyi senyap ditinggal mengungsi penghuninya. Dari atas dataran tinggi Makkah ia mendengar sayup-sayup suara hiruk-pikuk dari arah selatan, di dataran tinggi Makkah. Tidakjelas apakah suara yang didengarnya itu teriakan orang-orang yang berdoa, atau teriakan orang-orang yang sedang mengumpat-umpat Abrahah. Aminah tetap menunggu di rumah hendak menyaksikan sendiri apa yang akan terjadi. Petang hari menjelang matahari terbenam datanglah seorang kepadanya memberi tahu, bahwa Abrahah dan pasukannya gagal melaksanakan niatnya hendak menghancurkan Ka’bah. Allah murka dan menimpakan siksa berat hingga seluruh balatentara Habasyah tertimpa bencana mengerikan. Sebagian besar tewas dan sisanya lari centang perenang. Betapa girang Aminah mendengar berita keselamatan itu. Ia bersyukur kepada Allah yang telah mengabulkan doanya untuk dapat melahirkan putra di rumah sendiri dekat Ka’bah. Kisa kehancuran pasukan Abrahah diabadikan oleh Alquran dalam Surah Al-Fil.
[1] Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw.: hlm. 184-189.
Sumber : Baitun Nubuwwah Karya H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini